ASK
ME

REGISTER
NOW

Ketabahan sebagai Kebajikan

03/25/2011 00:00:00
Penulis/Peneliti : Alois Agus Nugroho

Bidang Penelitian : Etika

Jurnal : Suara Pembaruan

Volume : Sabtu, 19 Maret 2011

Tahun : 2011


Publik internasional terguncang oleh hebatnya bencana yang menimpa Jepang pada 11 Maret lalu. Tak kalah dari itu, publik internasional juga terkagum-kagum pada bangsa Jepang yang tetap stoic menghadapi bencana mengerikan dan tumpukan masalah pascabencana, termasuk ancaman radiasi nuklir.

Kelihatan di layar kaca, di CNN, BBC, Al-Jazeera, orang-orang Jepang tetap antri sesudah gempa berkekuatan hampir 9 skala Richter. Dengan sabar, mereka antri menunggu lampu lintas menyala hijau untuk pejalan kaki. Mereka antri panjang menunggu pulihnya lagi pelayanan kereta api. Mereka tertib antri untuk mendapatkan bantuan logistik. Mereka antri untuk berbelanja atau membayar belanjaan di pasar swalayan yang untuk sebagian masih porak poranda. Mereka mengalami pemadaman listrik bergilir dengan tenang, tanpa gejolak sosial.

Professor Joseph Nye dari Universitas Harvard mengatakan bahwa bencana ini telah membuat daya tarik Jepang semakin berkilau di dunia. Penyiar BBC heran, betapa dalam keadaan darurat bangsa Jepang tetap mematuhi law and order dengan menunggu lampu lalu lintas menyala hijau. Dan kita di Indonesia berdecak kagum, karena bangsa Jepang menunjukkan bagaimana pascagempa dan tsunami tidak perlu terjadi penjarahan, tidak harus terjadi rebutan bantuan, tidak mesti terjadi sikut-sikutan. Kepentingan umum tetap dijunjung tinggi oleh birokrasi negara dan rakyat. Kejujuran , keadilan, ketertiban tetap ditegakkan.

Dalam keadaan darurat akibat bencana hebat, Jepang telah mampu menunjukkan diri sebagai masyarakat yang tertata baik. Gempa dan tsunami memang mampu mengoyak-ngoyak bangunan fisik di beberapa prefektur. Namun bangunan sosial Jepang tetap tegak, lebih kokoh dari pencakar-pencakar langit Tokyo yang sedikit terhuyung-huyung sewaktu terkena gempa. Para karyawan tetap ingin berangkat ke tempat kerja, tetap ingin produktif, biarpun harus mengantri panjang akibat belum normalnya pelayanan kereta api. Bursa efek Tokyo dibuka kembali, dan hanya “istirahat” selama dua hari kerja.


Etika Stoisisme

Kenapa keutamaan dan daya tarik Jepang itu diacu oleh media berbahasa Inggris dengan kata stoic? Kata itu sendiri menurut Kamus Webster’s berarti kemampuan untuk menghadapi kesulitan dan halangan dengan tabah, dengan fortitude. Ketabahan adalah satu dari empat kebajikan utama yang sudah dicanangkan sejak Plato dan Aristoteles, yang digarisbawahi oleh pemikir Kristiani Abad Pertengahan Eropa, Thomas Aquinas. Empat kebajikan utama itu ialah keadilan, kebijaksanaan, pengendalian diri dan ketabahan. Dari keempat sifat manusia utama itu, terutama ketabahanlah yang digarisbawahi oleh aliran filsafat yang dikenal dengan nama Stoisisme. Dari situlah tampaknya kenapa julukan stoic diberikan bagi mereka yang tabah hati.

Stoisisme berasal dari kata Yunani stoa, yang artinya kurang lebih beranda atau lorong-lorong beratap (arcade). Kira-kira pada 300 sebelum Masehi, Zeno dari Citium mengajarkan filsafatnya di beranda atau lorong-lorong beratap di Athena. Dari sinilah muncul aliran yang kemudian dikenal sebagai Stoisime, yang berkembang pada Zaman Hellenisme dan Zaman Romawi sampai sekitar abad ke-3 Masehi. Tokoh-tokohnya yang terkenal selain Zeno adalah Epictetus (55-135), Seneca (5 SM – 65) dan Marcus Aurelius (121-180).

Betapa pun ada variasi pendapat di antara para filsuf Stoa, dalam bidang etika semua sepakat bahwa manusia wajib untuk tidak mengeluh dan menyesali penderitaan atau pun kekurangan yang jelas tak terhindarkan (Carlos Steel, 1989). Kamus filsafat versi Penguin, mengatakan bahwa stoisisme menekankan perlunya mengekang emosi atau apatheia (Thomas Mautner, 2000). Dalam konteks penderitaan karena musibah dan bencana, mengekang emosi lalu berarti tabah , salah satu dari empat kebajikan utama etika Yunani dan etika Abad Pertengahan.

Dapat dibayangkan, dalam situasi darurat, keadaan akan semakin buruk lagi bila banyak warga mengikuti gejolak perasaan, kesedihan, kemarahan, kebingungan, ketaksabaran, kejengkelan, keputusasaan dan meluapkannya ke lingkungan sosial. Keutamaan moral dalam keadaan ini ialah tidak meluapkan emosi ke lingkungan sosial dan dengan tabah memikul penderitaan dan kesulitan bersama.

Seperti pernah diisyaratkan oleh Seneca, nasib yang sudah buruk akan menjadi semakin buruk bila emosi terhadapnya kita luapkan. Sedangkan bagi yang tabah, nasib buruk akan membimbing ke arah keadaan yang lebih baik, bila kita menghadapinya dengan tenang, dengan hati dingin dan kepala jernih. Ducunt volentem fata, nolentem trahunt, kata Seneca.

Kebajikan berupa ketabahan ini merupakan etos sosial Jepang. Kita dapat mengamatinya dalam filem seri Oshin yang sudah ditayangkan TVRI pada awal tahun 1980-an. Kita dapat merasakannya dalam filem Madadayo (1993), yang merupakan filem terakhir dari sutradara besar, Akira Kurosawa. Kita dapat mengobservasinya dalam perilaku tokoh Satoko dalam filem Haru no Yuki (Salju Musim Semi), filem tahun 2005, yang merupakan adaptasi dari novel sastrawan besar, Yukio Mishima. Dan kebajikan berupa ketabahan ini pula yang kita temukan dalam perilaku masyarakat Jepang menghadapi trilogi bencana Maret 2011.

Pendidikan formal maupun non-formal memainkan peranan penting dalam menempa kebajikan sosial ini. Penulis merasa amat beruntung mempunyai seorang ibu yang mau memperkenalkan anak balitanya kepada ketabahan Jepang dengan mengajak nya menonton filem Nijushi no Hitomi atau Dua Belas Pasang Mata (1954) yang bercerita tentang seorang ibu guru muda dengan dua belas murid kecilnya. Ibu itu pula yang mengantarkan anaknya tidur dengan lagu Aikoku no hana: “masshiro ki fuji no kedakasa o kokoro no tsujoi tate toshite” (pohon putih di Fuji, hati yang suci, jiwa yang kuat, sebagai pembangun).


Penulis adalah guru besar filsafat/etika di Unika Atma Jaya dan staf senior pada Pusat Pengembangan Etika Atma Jaya