ASK
ME

REGISTER
NOW

Kesehatan Bank dan Pemulihan Ekonomi

02/23/2005 00:00:00
Penulis/Peneliti : A. Prasetyantoko, SE, MSc

Bidang Penelitian :

Jurnal : Artikel Media Indonesia

Volume :

Tahun : Desember 2004

Sesuai dengan nature krisis yang menimpa negeri kita, perbankan memainkan peran penting dalam pemulihan ekonomi. Ada dua generasi utama dalam krisis ekonomi, dilihat dari faktor fundamental yang menyebabkannya. Pertama, krisis nilai tukar (currency crisis) dan kedua, krisis sistem finansial (financial crisis). Berbeda dengan krisis di kawasan Amerika Latin (Brasil, Meksiko, Argentina) dan Eropa Timur (Yugoslavia, Bulgaria, Hongaria), krisis yang menimpa kawasan Asia Tenggara (Indonesia, Thailand, Filipina, Malaysia) menunjukkan kausalitas yang erat antarkeduanya (faktor moneter dan finansial). Demikian, maka krisis di kawasan ini dinamai krisis generasi ketiga (third generation). Jika ditelusuri lebih jauh, akar dari dua generasi krisis tersebut sebenarnya ada pada faktor kepercayaan yang hilang. Runtuhnya perekonomian kita sangat dipengaruhi oleh perilaku destruktif para pelaku ekonomi, sebagai refleksi atas harapan akan realita ekonomi (fulfilling destructive prophecy).

Maka tidak berlebihan jika dalam rangka memantapkan pemulihan ekonomi, kredibilitas adalah sesuatu yang sangat dibutuhkan dari pemerintah sekarang ini. Kita agak tersentak dengan kejadian yang menimpa PT Bank Global Tbk serta perusahaan reksadana Prudence International, beberapa waktu lalu. Demikian pula dengan berita masuknya Bank Persyarikatan Indonesia (BPI) di bawah pengawasan khusus (special surveillance) Bank Indonesia. Ternyata, industri perbankan serta sektor keuangan masih berlumur dengan persoalan yang serius. Padahal, tanpa kebangkitan sektor perbankan serta perkembangan sektor finansial yang kuat, pemulihan ekonomi akan tersendat. Lalu apa yang harus dilakukan? Sektor finansial Secara sederhana, tugas utama pemerintah hanyalah dua, yaitu meredam gejolak jangka pendek serta menggali potensi pertumbuhan dalam jangka panjang. Boleh dikatakan, pemerintahan baru sudah tidak terlalu dibebani oleh persoalan gejolak jangka pendek. Nilai tukar sudah stabil, inflasi terkendali, dan tingkat suku bunga juga makin bisa ditekan. Bahkan kredibilitas pemerintahan baru di bawah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla juga makin bersinar. Salah satu indikatornya adalah melonjaknya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Jakarta (BEJ) hingga menyentuh nilai tertinggi dalam sejarah pasar modal di Indonesia mencapai titik 1.003 poin.

Berita mengenai penipuan terhadap nasabah PT Bank Global adalah berita buruk yang turut menahan pergerakan perdagangan saham. Demikian pun, keraguan akan kredibilitas dari tata perekonomian di bawah pemerintahan baru mulai merebak. Keraguan tersebut bukanlah tanpa sebab. Dalam kasus Bank Global, persoalannya terkait dengan industri reksadana yang sedang tumbuh sangat pesat akhir-akhir ini. Hingga di penghujung 2004 ini, dana yang bergerak di industri tersebut sudah mencapai Rp100 triliun. Padahal, di akhir 2002 baru mencapai Rp41,6 triliun. Di seluruh dunia, industri reksadana memang sedang mengalami booming. Majalah The Economist edisi 27 November-3 Desember 2004 mengusung judul The capitalism‘s New Kings. Dalam kurun dua tahun terakhir ini, industri reksadana (private equity) telah tumbuh sebesar 60%. Dan dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, terjadi peningkatan sebesar 3.000%. Betapa industri reksadana tengah menjadi pusat bisnis baru yang merajai sistem kapitalisme modern, begitu The Economist menerangkan. Di Indonesia, industri reksadana merupakan salah satu alternatif pembiayaan perusahaan yang berkembang terutama setelah krisis. Sebagaimana kita tahu, sebelum krisis ekonomi, sumber pembiayaan perusahaan hanya mengandalkan sistem perbankan.

Bahkan hingga 2000 yang lalu, perbankan masih menguasai 90,40 persen perputaran dana di sektor finansial. Artinya, sektor finansial yang lainnya (pasar modal, asuransi, multifinance, dan pegadaian) belum begitu berkembang. Tidak berkembangnya pasar modal secara optimal, sehingga pertumbuhan obligasi (obligasi pemerintah dan perusahaan) serta saham masih di bawah pertumbuhan sektor perbankan. Akibatnya, struktur permodalan perusahaan dan instrumen investasi masih sangat tergantung pada sektor perbankan. Kehancuran sektor perbankan telah memberi pelajaran untuk secara berangsur mengembangkan sektor investasi yang lain. Maka sumber pembiayaan yang berbasis pada pasar modal semakin menjadi kebutuhan. Dalam konteks sektor pembiayaan konsumsi (multifinance), akhir-akhir ini juga mengalami perkembangan yang pesat. Di tengah kelesuan sektor perbankan yang menderita akibat sektor riil yang tidak bergerak, bisnis multifinance tumbuh secara meyakinkan. Hingga 2004 ini, penyaluran dana bank ke multifinance naik sebesar 67% (atau Rp8,3 triliun) dibanding 2003 yang hanya mampu menyalurkan kredit sebesar Rp4,9 triliun. Secara kuantitatif, jumlah perusahaan multifinance juga mengalami lonjakan, hingga pertumbuhan sektor tersebut selama 2004 naik sekitar 20-30%.

Fenomena lain adalah terjadinya merger antara bank dan perusahaan multifinance, sebagaimana terjadi antara Bank Danamon dengan Adira Finance serta Bank Internasional Indonesia (BII) dengan Wahana Otomitra Multiarta. Selain itu, perkembangan sektor pembiayaan juga didukung oleh kemitraan, seperti terjadi antara Bank Mandiri dengan PT Astra Sedaya, yang menerima kucuran kredit sebesar Rp2,5 triliun. Pendek kata, selain perbankan, sekarang sektor pembiayaan dan reksadana adalah ujung tombak dalam sektor finansial kita. Sayangnya, pemerintah nampak tidak siap menghadapi perkembangan di sektor-sektor tersebut, selain pemulihan dunia perbankan pun mengalami hambatan yang berarti. Kelembagaan Beralihnya pusat peredaran uang dari perbankan ke industri pembiayaan dan industri reksadana menyisakan berbagai persoalan kelembagaan. Sudah siapkan kelembagaan sektor finansial kita terhadap perkembangan reksadana dan multifinance?

Sektor yang lebih krusial adalah industri reksadana, karena sangat rentan terhadap manipulasi. Sebagaimana pada awal pertumbuhan sektor perbankan pada 1988, persoalan utamanya adalah institusi hukum dan aturan main yang ternyata sangat lemah. Akibatnya, liberalisasi sektor perbankan bukannya menghasilkan struktur pembiayaan yang kuat bagi sektor riil, justru sebaliknya menyebabkan keterpurukan yang luar biasa. Inti persoalannya, sektor perbankan tidak dikelola dengan baik, sehingga tidak memiliki daya dukung yang kuat terhadap struktur perekonomian nasional secara umum. Sekilas, kita bisa melihat betapa liberalisasi hanya menciptakan struktur industri perbankan yang rapuh. Sejak Paket Oktober 1988 (Pakto), terlalu banyak bank berdiri sehingga persaingan sangat tinggi dan pada gilirannya kualitasnya menjadi sangat buruk. Sementara itu, struktur aset dan kewajiban timpang karena fungsi pengawasan yang lemah. Hal tersebut bisa ditunjukkan dengan besarnya off balance sheet liabilities dari keseluruhan aset di sektor perbankan, yaitu sekitar 63% yang tidak diungkapkan dan di-hedging secara benar. Singkatnya, liberalisasi tanpa kerangka kelembagaan yang baik, justru berakibat sangat fatal. Zaman dengan orde liberalisasi berulang kembali. Sektor finansial yang dibiarkan tumbuh tanpa adanya regulasi dan kelembagaan yang kuat, dipastikan hanya akan menjadi bumerang di kemudian hari. Sudah saatnya otoritas di sektor keuangan, seperti Bappepam, BEJ, BI mengintegrasikan koordinasi untuk membangun kerangka kelembagaan yang kuat bagi perkembangan sektor finansial. Dunia perbankan yang ternyata masih menyimpan bara persoalan, harus segara diselesaikan, baik dengan cara merger, likuidasi maupun dengan mengaktifkan seluruh perangkat pengawasan yang sementara ini masih terlihat tidak maksimal.

Tanpa pemulihan sektor perbankan serta kesehatan sektor finansial pada umumnya, stabilitas ekonomi makro yang sudah mulai tercipta akan terganggu kembali. Dan jika stabilitas jangka pendek kembali terjadi (meski dalam derajat yang lebih kecil ketimbang 1997/1998 lalu) tetap saja akan mengganggu usaha menciptakan pertumbuhan dalam jangka panjang. Sebenarnya, pemerintahan baru memiliki peluang yang sangat besar untuk secara lebih terfokus membenahi kelembagaan di setiap sektor ekonomi, agar tercipta struktur ekonomi yang kuat. Sayangnya, pemerintahan baru belum juga maksimal mengarahkan kebijakan-kebijakannya dalam rangka penguatan kelembagaan. Sebaliknya aroma yang terasa adalah usaha untuk melanggengkan kekuasaan dengan berimprovisasi melalui penetrasi pada kekuatan-kekuatan politik. Moga-moga manuver Wakil Presiden Jusuf Kalla mencengkeram Partai Golkar tidak berlanjut dengan manuver politik yang lain, karena stabilitas serta pemulihan ekonomi akan menjadi taruhannya. Sementara itu, rakyat sudah tidak bisa menunggu lebih lama lagi kesungguhan pemerintah mengatasi krisis ekonomi. Tanpa kredibilitas dari pemerintah, kebijakan tidak populis seperti menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM), mencabut subsidi, privatisasi serta liberalisasi di berbagai sektor hanya akan menggerakkan kemarahan massa-rakyat. Kesungguhan, kredibilitas dan kerja keras harus terlebih dahulu ditunjukkan, sebelum mengajak rakyat bersama-sama hidup lebih menderita, guna mencapai tahap pemulihan ekonomi yang lebih tinggi.