ASK
ME

REGISTER
NOW

Implikasi Ekonomi Bencana Jepang

03/15/2011 00:00:00
Penulis/Peneliti : A. Prasetyantoko

Bidang Penelitian :

Jurnal : Koran Kompas

Volume : 15 Maret 2011

Tahun : 2011


Berita gempa berkekuatan 8,9 SR yang disertai tsunami di wilayah utara Jepang mengguncang dunia. Meski Jepang dikenal cukup canggih dalam mitigasi bencana, dampaknya terhadap perekonomian domestik dan kawasan diperkirakan akan besar. Gempa ini salah satu terburuk dalam 140 tahun terakhir. Pada 1923 terjadi gempa 7,9 skala Rich- ter (SR) yang menewaskan 140.000 jiwa di Tokyo. Setelah itu, gempa besar 1933 dan 1995. Sebelum gempa sekarang, yang disebut bencana terbesar adalah gempa Kobe (1995) yang menelan biaya pemulihan 100 miliar dollar AS. Salah satu bencana termahal ditilik dari biaya rekonstruksi.

Perekonomian Jepang sejak 1990-an berada dalam fase lesu. Pertumbuhan, inflasi, dan suku bunga berada dalam kisaran rendah. Bahkan fenomena perekonomian Jepang ini sering mendapat julukan sebagai ”jebakan deflasi gaya Jepang” (Japanese deflationary trap). Setelah mengalami fase pertumbuhan tinggi pada dekade 1980-1990-an, perekonomian Jepang tak pernah bangkit lagi. Perekonomian cenderung mandek, sementara beban fiskalnya cukup tinggi.

Meski suku bunga sudah mendekati nol persen selama bertahun-tahun, dinamika ekonomi tak bergerak. Berbagai proyek stimulus ekonomi tak juga membuat ekonomi terpacu. Dalam jangka menengah, berbagai proyek terkait rekonstruksi dan pemulihan dari bencana ini mungkin justru berpotensi ”menyelamatkan” Jepang. Secara makro, akan ada likuiditas mengalir dalam ekonomi dan menggerakkan berbagai sektor sehingga pertumbuhan akan lebih dinamis.

Meski begitu, dalam jangka pendek dampaknya tentu negatif. Gempa membuat penutupan bursa Nikkei akhir pekan lalu merosot 179,95 poin (1,72 persen). Saham-saham perusahaan elektronik dan otomotif memimpin penurunan karena banyak pabrik dan kantor perusahaan rusak parah. Perekonomian Jepang yang bertumpu pada ekspor manufaktur tentu sangat terpukul dalam jangka pendek. Banyak fasilitas transportasi, bandara, dan pelabuhan lumpuh. Belum lagi kerusakan pabrik yang belum bisa dikalkulasi.

Mengingat kerusakan cukup parah, biaya rekonstruksi tentu akan sangat besar dan berpotensi membuat kondisi anggaran pemerintah yang sudah berat makin terpuruk. Beban fiskal dan biaya stimulus harus dihitung dari tingkat produktivitas yang dihasilkan dalam menggerakkan perekonomian. Jika biaya fiskal yang digelontorkan dalam ekonomi bisa menggerakkan pertumbuhan, melebarkan defisit anggaran akan memberikan efek balik positif (crowding-in effect).


Dampak bagi Indonesia

Seberapa besar dampak bencana Jepang terhadap Indonesia? Sejak puluhan tahun lalu, Jepang mitra penting Indonesia. Perannya sangat besar, baik sebagai negara kreditor, pengimpor barang, maupun investor. Proyek pengembangan koridor ekonomi yang tengah berlangsung banyak didukung Pemerintah Jepang.

Secara umum perekonomian kita masih akan ditopang terutama oleh konsumsi domestik. Karena itu, ketersediaan barang lewat mekanisme ekspor-impor, terutama barang konsumsi, sangat penting. Komponen investasi juga akan jadi andalan penopang kinerja ekonomi 2011.
Pada kuartal IV-2010 Jepang negara kedua terbesar dalam investasi langsung dengan volume penanaman modal sekitar 1,4 miliar dollar AS. Sebagian besar di sektor manufaktur (1,2 miliar dollar AS), disusul sektor penjualan dan ritel (sekitar 43 juta dollar AS), serta pertambangan (sekitar 41 juta dollar AS).

Dari sisi perdagangan, Jepang negara kedua terbesar pemasok barang impor ke Indonesia sete- lah China. Januari 2011 nilai impor barang dari Jepang 1,3 miliar dollar AS, sementara dari China 1,9 miliar dollar AS. Dari sisi ekspor, Jepang jadi tujuan ekspor terbesar 2010. Meski Desember 2010 dan Januari 2011 terjadi penurunan, Jepang masih masuk tiga besar tujuan ekspor Indonesia (bersama China dan AS).
Di luar komponen investasi dan ekspor-impor, peranan Jepang juga penting sebagai kreditor. Dari total utang luar negeri Indonesia, komposisi berdenominasi yen cukup besar, urutan kedua setelah dollar AS.

Pada kuartal IV-2010, dari total pinjaman luar negeri sekitar 116 miliar dollar AS, 32,9 miliar dollar AS berdenominasi yen, sementara sekitar 39,2 miliar dollar AS berdenominasi dollar AS. Jika rekonstruksi ekonomi Jepang menyedot perhatian dan alokasi anggaran, baik pada level pemerintah maupun korporasi, skenarionya perekonomian Jepang akan cenderung melihat ke dalam (inward looking). Karena itu, konsekuensinya akan mengurangi alokasi investasi dan permintaan barang serta mungkin komitmen pinjaman kepada pihak lain, termasuk Indonesia.


A Prasetyantoko Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Unika Atma Jaya, Jakarta