ASK
ME

REGISTER
NOW

Friday Coffee Break tentang UU ITE

03/19/2019 00:00:00

PENCEMARAN NAMA BAIK TIDAK PERLU HUKUM PIDANA

Oleh: Andina Dwifatma, Dosen Prodikom

 

Dalam diskusi Friday Coffee Break tentang UU ITE, 8 Maret 2019 yang lalu, salah satu yang menjadi sorotan adalah pasal pencemaran nama baik alias defamasi. Sebanyak 72% pelapor pakai pasal ini. Pejabat publik menjadi pihak yang paling sering melapor. Padahal, di banyak negara saat ini defamasi diatur lewat hukum perdata dengan membayar denda, bukan lagi penjara.

 

Defamasi sendiri merupakan aturan hukum yang berasal dari zaman kolonial. Selain pada pasal 27 ayat 3 UU ITE, defamasi juga diatur dalam pasal 310-311 KUHP. Sejarahnya, aturan ini digunakan oleh pemerintah kolonial Belanda untuk menghukum mereka yang menghina Ratu dan pemerintahan kolonial.

 

"Masalahnya, ketika merdeka, hukum ini dipertahankan dengan mengganti subyek. Yang dihina bukan lagi Ratu dan pemerintahan kolonial, tetapi warga biasa. Sifatnya yang asimetrik membuat hukum ini berjalan timpang," kata Mas Damar Juniarto.

 

Ketua Paguyuban Korban UU ITE (PAKU ITE) Muhammad Arsyad curhat di acara ini. Tahun 2014 dia dipenjara 103 hari karena nulis status BBM (!!!) nyebut Nurdin Halid koruptor (harusnya ‘terpidana korupsi’ LOL). Yang orang tidak banyak tahu, masa paling berat justru setelah keluar dari penjara. Orang tua Arsyad sampai jual rumah karena trauma. Arsyad luntang-lantung karena tidak bisa mencari kerja, tidak bisa bikin SKCK, tidak bisa hidup layak. Apakah semua penderitaan ini sepadan dengan niat memberi ‘efek jera’ seperti yang diinginkan pelapor? (Klik http://id.safenetvoice.org/daftarkasus/ untuk tahu daftar kasus UU ITE selama ini)

 

 

Kalau kata Mbak Asmin Fransiska, UU ITE ini jenis undang-undang yang justru melanggar dirinya sendiri. Semangat awalnya sih, mengatur mengenai informasi dan transaksi di internet, juga melindungi dari kejahatan siber. Namun, isi UU dari pasal 27 sampai 54 UU justru tentang menghukum. UU yang seharusnya meregulasi, kok malah nakut-nakuti.

 

 

Berdasarkan pantauan SAFEnet, dalam UU ITE keadilan justru tidak menjadi tujuan. Ada lima pola pemidanaan, yaitu kasus UU ITE sebagai aksi balas dendam, barter kasus, pembungkaman kritik, shock therapy, dan persekusi ekspresi. Untuk itu, revisi UU ITE mutlak diperlukan. Kawal!

 

Cofee break kali ini hasil kerja bareng BPMPR, LPPM dan Prodi Ilmu Komunikasi, Unika Atma Jaya.

 

Sampai jumpa di FCB berikutnya