ASK
ME

REGISTER
NOW

Hari Libur dan Hari Kudus

01/07/2013 00:00:00
Penulis/Peneliti : Alois A. Nugroho

Bidang Penelitian :

Jurnal : Suara Pembaruan

Volume : 22 Desember 2012

Tahun : 2012

 

Dalam bahasa sehari-hari, hari libur dan hari kudus itu berkerabat dekat, begitu pernah dikatakan oleh filosof Inggris-Amerika yang bernama Alfred North Whitehead (1861-1947) dalam bukunya Mencari Tuhan Sepanjang Zaman (Bandung: Mizan, 2009). Pendapat ini tentu saja berlaku bagi bahasa-ibu sang pengarang, yakni bahasa Inggris. Dalam bahasa Inggris, holiday (hari libur) dan holy day (hari kudus) hanya berbeda tipis dalam hal penulisan maupun pengucapan. Dalam bahasa Indonesia, kita tidak menggunakan istilah “hari kudus”, melainkan “hari besar” atau “hari raya”. Itu pun masih harus ditambah dengan kata sifat “keagamaan”, menjadi “hari raya keagamaan” atau “hari besar keagamaan”.

Hari libur ialah hari tidak bekerja atau hari bebas dari kerja. Sedangkan hari kudus adalah hari yang istimewa dalam gejala manusia sebagai makhluk religius. Filosof asal Rumania yang bernama Mircea Eliade (1907-1986) menyimpulkan bahwa bagi manusia religius, waktu – seperti halnya ruang - tidaklah dialami sebagai sesuatu yang sama saja (homogen). Di antara hari-hari biasa, ada hari-hari kudus. Pada hari-hari biasa, kita bekerja mencari nafkah atau melakukan aktivitas apa pun bentuknya sebagaimana biasa. Namun aktivitas rutin pada hari-hari biasa mengalami break berupa hari-hari kudus.

Bagi Whitehead, hari kudus adalah saat-saat untuk menghadirkan lagi perasaan-perasaan yang oleh pemikir Jerman Rudolf Otto (1869-1937) disebut sebagai “perasaan ciptaan”. Memang, agama bukan hanya berupa serangkaian perasaan dan peribadatan saja, tetapi juga pernyataan-pernyataan kesaksian iman dan terlebih lagi rangkaian pernyataan yang disusun secara nalar dan yang kemudian dinamai ilmu kalam atau teologia.

Namun demikian peranan upacara dan perasaan tetaplah penting. Dengan upacara ritual, perasaan-perasaan yang relevan dalam penghayatan agama tertentu dibangkitkan dan dihidupkan kembali . Kadang-kadang upacara-upacara itu adalah pengulangan dari kejadian-kejadian historis yang melahirkan perasaan-perasaan itu. Rudolf Otto menganggap perasaan bertemu dengan “Yang Sama Sekali Lain” sebagai inti dari perasaan religius. Dalam pengalaman religius orang biasa seperti kita, perasaan itu dapat saja berupa penyerahan diri secara total, peniadaan sikap egois, peleburan diri, perasaan dicintai dan mencintai, perasaan berdosa serba tak pantas tetapi tetap ada Tangan yang terulur, dan sebagainya.

Tentang perasaan-ciptaan ini, sangatlah menyentuh ketika seorang mahasiswi berjilbab dalam pesan singkatnya menuliskan kata-kata Rabiatul ‘Adawiyah, seorang Sufi perempuan yang memilih untuk tidak menikah :”Ya Allah, jika aku beribadah karena surgaMu, maka tutuplah pintu surgaMu bagiku, kalau aku beribadah karena ingin takut nerakaMu maka masukkanlah aku ke neraka itu,namun jika aku beribadah karena cintaku padaMu ya Allah maka terimalah cintaku ini”. Sungguh indah dan agung ungkapan perasaan-ciptaan ini.
Perasaan-ciptaan itulah yang hendak ditumbuhkan kembali pada hari kudus. Tentu saja perasaan-ciptaan dapat muncul juga pada hari-hari biasa. Namun pada hari-hari kudus, secara khusus perasaan-perasaan ciptaan yang pernah muncul dalam sejarah diungkap dan dibangkitkan kembali. Mungkin dapat dikatakan, pada hari kudus kita menggugah lagi apa yang oleh dramawan Polandia yang bernama Richard Boleslavsky (1889-1937) disebut “ingatan emosi”. Dengan perasaan mendalam yang kita timba lagi pada hari kudus, kita akan dapat melanjutkan hidup rutin dari hari-hari biasa, betapa pun tertatih-tatih dan jatuh bangun langkah kita.

Dulu sekali, holy day itu tampaknya merupakan akar dan acuan dari holiday . Kesaksian tentang hal ini dapat dibaca dari serial cerita anak-anak otobiografis yang ditulis oleh Laura Ingalls Wilder (1867-1957) dan pernah diterbitkan oleh Badan Penerbit Kristen Gunung Mulia. Serial filem televisi yang pernah ditayangkan TVRI berpuluh-puluh tahun silam, Little House on the Prairie, dan dibintangi oleh Michael Landon, merupakan bagian dari kisah cerita anak-anak yang dikenal sebagai serial “Rumah Kecil” itu.

Orang-orang desa sederhana yang dikisahkan dalam seri “Rumah Kecil” itu, yang tidak bekerja 40 jam seminggu dalam 5 atau 6 hari kerja seperti orang kota masa kini, juga punya hari-hari kudus yang dijadikan hari berhenti bekerja. Hari libur adalah konsekuensi dari hari kudus. Pada hari biasa, sebagian besar waktu dipergunakan untuk mencari nafkah atau mengerjakan tugas rutin dan hanya sedikit waktu disisihkan untuk memasuki “saat teduh”. Pada hari kudus, sebaliknya, sebagian besar waktu dipergunakan untuk menumbuhkan perasaan-ciptaan atau untuk menggugah “ingatan emosi” yang religius.
Liburan modern

Akan tetapi pada masa modern,tampaknya aspek “liburan” lebih dominan dibandingkan dengan aspek “hari kudus”. Festival semakin dilepaskan dari ritual. Pada hari kudus, festival yang digelar lebih ramai dan lebih lama dari ritual yang harusnya dijalankan secara khidmat. Pada perkembangan lebih lanjut, hari libur sama sekali dilepaskan dari usaha untuk membangkitkan dan menghayati kembali “perasaan-ciptaan”. Tak tersisa asosiasi kekudusan apapun pada kata holiday . Liburan dalam filem yang dibintangi penyanyi pop Cliff Richard (1963), atau filem nasional yang berjudul “Hari Libur” (1958) yang dibintangi oleh almarhum Bing Slamet sudah tak ada kaitannya dengan hari kudus sama sekali.

Titik berat pada aspek keramaian ini tampaknya bukan tanpa hubungan dengan semakin besarnya pengaruh pasar pada kehidupan manusia. Bila sebelumnya kegiatan ekonomi dalam bentuk pekerjaan produktif sehari-hari sangat dipengaruhi oleh perasaan-ciptaan yang dihayati secara istimewa pada hari kudus, maka sekarang hari kudus telah dijadikan kesempatan untuk menjajakan produk-produk kegiatan hari-hari biasa. Dalam bahasa para pemikir etika sosial dari Frankfurt, hari kudus telah menjadi bagian dari “industri budaya” atau katakanlah “industri kreatif”. Menjelang pertengahan November 2012, ketika hari Natal masih jauh dan bahkan hari Adven pun belum tiba, cemara Natal yang tinggi dan gemerlap sudah berdiri di Vivo City dan di pusat-pusat perbelanjaan di Orchard Road, Singapura.

Akibatnya, kita semakin tidak memiliki cukup waktu guna menggugah “perasaan ciptaan” dalam ruang batin kita. Kesendirian kita bukanlah kesendirian yang memiliki ruang batin dimana kita bercakap-cakap dengan diri sendiri atau – lebih tepat – dengan “yang lain” dalam diri sendiri, termasuk “Yang Sama Sekali Lain”. Kesendirian kita secara riuh rendah disesaki oleh Walkman, HP, Youtube, game, dan lain sebagainya. Kesendirian kita, meminjam Hannah Arendt (1906-1975), bukanlah privasi, bukan “ruang batin”, melainkan “ruang sosial”. Menghadapi logika pasar, tidaklah mudah untuk bernafas sejenak, untuk bercakap-cakap dengan diri sendiri.

Padahal, etika mengandaikan kemampuan untuk merawat ruang batin kita. Sebagai implikasi, etika mengandaikan kemampuan untuk melakukan refleksi pada masa libur, kemampuan untuk melihat keterkaitan antara holiday dengan holy day. Apalagi bila libur itu ialah libur Natal. Selamat Hari Raya Natal.

Penulis adalah guru besar filsafat dan etika di Fiabikom dan staf Pusat Etika Atma Jaya, mengajar di Departemen Ilmu Komunikasi FISIP UI dan STF Driyarkara.