ASK
ME

REGISTER
NOW

DISKUSI ILMIAH: BUMN Harus Siap Tangani Krisis

08/29/2019 00:00:00

Jakarta, 23 Agustus 2019 – Krisis merupakan hal yang sering dialami oleh banyak perusahaan besar maupun perusahaan kecil. Krisis dapat menjadi ancaman bagi setiap perusahaan dalam mempertahankan reputasinya. Seperti belakangan ini, krisis yang menimpa Badan Usaha Milik Negara (BUMN) diantaranya pesan viral tentang menu ‘tulis tangan’ yang melanda maskapai penerbangan Garuda Indonesia, padamannya listrik di Jawa dan Bali beberapa hari yang lalu dari PLN , dan krisis kegagalan transaksi online yang berimbas kepada Bank Mandiri.

 

Menanggapi kasus tersebut, Program Studi Ilmu Komunikasi Unika Atma Jaya menggelar Diskusi Ilmiah bertajuk “Bedah Kasus Krisis BUMN: Multi-Perspektif” di Kampus 3 BSD, Jumat (23/8/2019). Hadir sebagai pembicara dalam acara ini adalah Dr. Agustinus Prasetyantoko (Pakar Ekonomi UAJ), Daniel Rembert (Pricewaterhouse Coopers), Benny Siga Butarbutar (BULOG), dan Abdul Manan (Ketua Umum AJI), serta dimoderatori oleh Dr. Dorien Kartikawangi (Ka. Prodi Ilmu Komunikasi UAJ)

 

Dr. A Prasetyantoko mengatakan saat ini BUMN terus mengembangkan korporasinya seperti mengakuisisi beberapa pembangunan sehingga muncul fenomena atau fakta yang menyebutkan bahwa BUMN menjadi konglomerat atau konglomerasi BUMN. Ini merupakan suatu yang positif karena pendapatan meningkat tetapi menimbulkan dampak negatif lain yaitu kecemburuan dari aktor ekonomi lain dan hutang negara. “Keadaan demikian tidak bisa dipungkiri bahwa dengan adanya konglomerasi BUMN maka akan ada kecemburuan dari industri lain. Disisi lain dengan gencarnya pembangunan, modal BUMN sendiri itu tidak cukup maka mereka harus berhutang dan itu merupakan suatu kerawanan sendiri bagi BUMN,” ungkap Pakar Ekonomi sekaligus Rektor UAJ.

 

Dr. A. Prasetyantoko juga menilai posisi BUMN tidak terlalu mudah karena harus mengatur ekspetasi dari publik dan ekspetasi dari industri lain. Sehingga diperlukan tata kelola manajemen BUMN yang baik. Dengan fakta lain, maka selain memperbaiki manajemen, BUMN juga harus memperbaiki komunikasi ketika menghadapi krisis. “BUMN perlu memperbaiki tata kelola manajemennya, baik dari segi manajemen internal ataupu komunikasi publiknya agar dapat lebih baik menghadapi krisis. Manajemen krisis yang baik akan meningkatkan valuasi perusahaan serta kepercayaan pemerintah dan publik. Karena pemerintahan yang baik, kualitas yang baik kalau tidak ada komunikasi publik yang baik tidak akan punya dampak,” tegas Dr. A. Prasetyantoko.

 

Disisi lain, Daniel Rembert mengamati kasus BUMN dari perspektif strategi manajemen, beliau mengatakan bahwa BUMN ini tidak terlalu siap dalam mengahadapi suatu krisis dan cenderung tidak mempunyai strategi khusus dalam menghadapi krisis. Selain itu, fungsi Public Relations (PR) juga tidak dimaksimalkan sebagai calm center yang menenangkan baik publik internal maupun eksternal.

“BUMN tidak ada latihan sebelumnya dalam menghadapi krisis. Seharusnya mereka bersikap seperti apa dan bagaimana proses recovery-nya. Bahkan dalam prsoes perbaikan krisis itu tidak hanya memperbaiki manajemen perusahaan tetapi juga reputasi perusahaan tersebut karena reputasi itu penting,” tutur Daniel.

 

Senada dengan Daniel, Benny Butarbutar menjelaskan bahwa BUMN tidak siap dalam menghadapi krisis dan cenderung menghindari konflik sehinggal menimbulkan persepsi yang kurang baik bagi publik ataupun media. Oleh karena itu, pentingnya peranan seorang PR dalam BUMN untuk mengkonfirmasi isu-isu yang sedang beredar, dan kuncinya itu perlu keberanian juga. “Krisis atau konflik itu harusnya dihadapi, tidak ditinggal lari. BUMN tidak terlalu menyadari peran komunikasi sehingga terkadang tidak meletakkan PR pada struktur yang tepat. Disini bisa dilihat pentingnya kapasitas pembangunan (capacity building) untuk seorang PR di BUMN ini khususnya di dalam membentuk persepsi publik. Disisi lain, PR itu harus berani menghadapi media untuk mengkomfrontasi isu apa yang sedang beredar dengan fakta-fakta yang terjadi diperusahaan tersebut,” jelas Benny.

 

Sementara sebagai perwakilan dari media, Abdul Manan yang juga Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) memaparkan pada dasarnya media itu melayani kepentingan publik dan publik itu berhak tahu tentang apa yang sedang terjadi. Pemberitaannya pun sesuai standar media mainstream, dengan menngedepankan value berita yang sesuai dengan fakta. “Jurnalisme itu tetap pada prinsipnya bad news is a good news. Pada hal ini ketika kita memebritakan suatu kasus tentang BUMN bukan berarti kita ingin menjatuhkan BUMN itu sendiri. Tetapi kita memberitahukan sesuai dengan kebenaran dan verifikasi yang didapat,” kata Abdul Manan. Sambil berguyon, ia mengatakan “Apa bedanya jurnalis dengan humas ketika media hanya membuat suatu berita yang baik pada publik tentang perusahaan itu, karena itu bukan tugas kita. Pada dasarnya tugas kita adalah mencari kebenaran akan suatu peristiwa.”

 

Melalui kegiatan ini, diharapkan mahasiswa terdorong untuk dapat berpikir dan menyajikan kerangka analisa yang kritis dan strategis khususnya pada era digital seperti ini. Selain itu, mahasiswa juga dapat memiliki kepekaan terhadap isu yang beredar di media masa. Peranan PR pun tak kalah penting ketika menghadapi krisis, diharapkan juga mahasiswa Prodi Ilmu Komunikasi terus mencetak praktisi PR yang unggul dan profesional. (Cristhofer Sulung, Mahasiswa Prodikom, Student Staff M & PR Unika Atma Jaya)