ASK
ME

REGISTER
NOW

Fobia Hari Buruh

05/01/2006 00:00:00
Penulis/Peneliti : Wahyu Susilo

Bidang Penelitian : Ketenagakerjaan

Jurnal : Kompas (artikel)

Volume : 1 Mei 2006

Tahun : 2006

Sejak kejatuhan Soeharto pada bulan Mei 1998, peringatan Hari Buruh Sedunia (May Day) yang jatuh pada tanggal 1 Mei selalu digelar secara terbuka dan masif oleh kaum buruh dan aktivis yang memperjuangkan hak-hak buruh. Tuntutan yang selalu didesakkan pada peringatan May Day adalah "penetapan tanggal 1 Mei sebagai hari libur nasional".

Untuk diketahui, semasa Soeharto berkuasa, aksi untuk peringatan May Day masuk kategori aktivitas subversif, karena May Day selalu dikonotasikan dengan ideologi komunis. Konotasi ini jelas menggelikan, karena mayoritas negara-negara di dunia ini (yang sebagian besar menganut ideologi nonkomunis, bahkan juga yang menganut prinsip antikomunis), menetapkan tanggal 1 Mei sebagai Labour Day dan menjadikannya sebagai hari libur nasional.

Kekhawatiran bahwa gerakan massa buruh yang dimobilisasi setiap tanggal 1 Mei membuahkan gerakan anarkis, ternyata tidak pernah terbukti. Sejak peringatan May Day tahun 1999 hingga 2005 tidak pernah ada tindakan destruktif yang dilakukan oleh gerakan massa buruh yang masuk kategori "membahayakan ketertiban umum". Yang terjadi malahan tindakan represif aparat keamanan terhadap kaum buruh, karena mereka masih berpedoman pada paradigma lama yang menganggap peringatan May Day adalah subversif.


Mendiskreditkan buruh

Oleh karena itu sangatlah berlebihan apabila menjelang peringatan May Day tahun 2006 ini muncul opini yang cenderung mendiskreditkan gerakan buruh. May Day-Phobia ini sangat terlihat dari pernyataan-pernyataan yang dilontarkan oleh pejabat publik di negeri ini. Mulai dari Presiden SBY yang "mengimbau" peringatan May Day agar tidak dimanfaatkan untuk pemogokan massal, sampai ancaman dari salah satu pimpinan asosiasi pengusaha yang akan menuntut secara hukum para aktivis serikat buruh yang mengorganisasi aksi massa.

Munculnya kabar akan masifnya gerakan buruh pada tanggal 1 Mei 2006 juga membuat aparat keamanan siap siaga, seakan- akan pada tanggal 1 Mei 2006 akan terjadi kerusuhan di Jakarta. Betapa tidak, menjelang tanggal 1 Mei 2006 telah disiagakan 12.000 aparat kepolisian dan 5.000 personel TNI, serta dibantu aparat sipil dari Satuan Polisi Pamong Praja sejumlah 4.000. Bisa dipastikan, dengan kesiapsiagaan tersebut makin memperkuat opini bahwa Jakarta tidak aman pada tanggal 1 Mei. Wilayah bisnis di Jakarta dan pusat-pusat perdagangan akan banyak yang tutup karena meliburkan pekerjanya, bukan karena menghormati Hari Buruh Sedunia, tetapi sebagai antisipasi "hal-hal yang tidak diinginkan" (sebuah istilah yang sebenarnya menunjukkan ketidakmampuan aparat mengatasi sebuah kejadian luar biasa).

Pertanyaannya, mengapa May Day-Phobia ini mengemuka? Ini berkaitan dengan adanya penolakan secara masif dari kalangan buruh atas rencana pemerintah merevisi Undang-Undang (UU) Nomor 13 Tahun 2003 mengenai Ketenagakerjaan yang dianggap terlalu memihak kaum buruh dan tidak mendukung iklim-investasi. Rencana revisi ini merupakan tindak lanjut dari Instruksi Presiden (Inpres) No 3/2006 mengenai Investasi. Inpres ini mengamanatkan sejumlah agenda revisi UU yang dianggap menghambat pertumbuhan investasi, terutama penanaman modal asing.

Bukan rahasia lagi, paket revisi kebijakan ini merupakan conditionality / persyaratan yang diajukan oleh negara-negara donor bilateral dan lembaga keuangan multilateral yang selama ini mengucurkan utang yang menjadi sumber pendanaan pembangunan. Secara terang-terangan IMF dan World Bank (seperti yang tergambar dalam Briefing Policy on Investment Climate untuk Meeting Consultative Group on Indonesia, January 2005) menganjurkan Indonesia agar menerapkan kebijakan ketenagakerjaan yang berprinsip pada kelenturan pasar tenaga kerja (labour market flexibility).

Bahkan dalam inpres ini, UU No 39/2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri juga akan direvisi, khususnya mengenai persyaratan perusahaan jasa tenaga kerja Indonesia (PJTKI) memiliki balai latihan kerja (BLK). Revisi yang diharapkan adalah dicabutnya kewajiban PJTKI memiliki BLK. Persyaratan ini dianggap menghambat iklim usaha penempatan tenaga kerja ke luar negeri. Dalam perspektif perlindungan buruh migran, revisi ini jelas mempertegas praktik komodifikasi buruh migran. Kewajiban PJTKI memiliki BLK diperlukan agar benar-benar menjadi PJTKI yang berkualitas dan bertanggung jawab.


Mengulur waktu

Meluasnya aksi kaum buruh yang akhirnya memaksa pemerintah menunda revisi UU Ketenagakerjaan diperkirakan akan terus berlanjut, karena niat pemerintah untuk menyerahkan kajian revisi pada lima perguruan tinggi ternama di Indonesia hanyalah politik mengulur waktu. Apalagi, ditengarai hasil dari kajian tersebut tidaklah jauh menyimpang dari "anjuran" institusi-institusi keuangan multilateral. Ketidakmampuan pemerintah merespons tuntutan kaum buruh ini yang sebenarnya makin membuat ketidakpastian ini. Dengan demikian, mengambinghitamkan kaum buruh sebagai sumber masalah dan mengintroduksikan May Day-Phobia jelas bukan cara yang bijaksana.

Dalam sejarahnya, seperti yang dikatakan pakar hukum perburuhan Imam Soepomo, UU yang dibuat untuk kaum buruh Indonesia memang dimaksudkan untuk melindungi mereka. Mengapa? Kaum buruh (yang hanya memiliki tenaga) berada dalam posisi yang rentan dibandingkan dengan kaum pengusaha (yang memiliki modal) dan penguasa (yang memiliki kuasa politik). Oleh karena itu, niat untuk merevisi UU Ketenagakerjaan (yang dianggap memihak kaum buruh) adalah a-historis. Upaya revisi UU Ketenagakerjaan hanya bisa dilakukan untuk makin melindungi kaum buruh, dan bukan sebaliknya.

Perlu diingat, Indonesia pernah punya kisah menarik untuk pembatalan UU Ketenagakerjaan yang tidak pro buruh. Pada masa akhir pemerintahannya, rezim Soeharto, melalui DPR-nya, mengesahkan UU No 25/1997 mengenai Ketenagakerjaan. Dalam proses pembahasan RUU ini juga berlangsung penentangan yang meluas dari kaum buruh dan aktivis pembelanya. UU ini akhirnya disahkan tanpa pernah berlaku, karena pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, UU ini dibatalkan dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No 1/1999 dan kembali ke UU No 14/1969 mengenai Pokok-pokok Ketenagakerjaan yang lebih mengakomodasi kepentingan kaum buruh.


Langgar hak atas pekerjaan

Dalam perspektif hak asasi manusia, revisi UU Ketenagakerjaan berpotensi terjadinya pelanggaran hak atas pekerjaan yang layak. Ini berlawanan dengan semangat Pemerintah RI yang telah meratifikasi dua Kovenan Pokok HAM, yaitu Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik dan Kovenan Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Indonesia juga merupakan sedikit dari negara-negara di Asia yang meratifikasi secara lengkap Konvensi-konvensi ILO tentang standar pokok perburuhan.

Seharusnya pada peringatan Hari Buruh Sedunia ini tidak semestinya pemerintah mempropagandakan sentimen antiburuh dan memproduksi kebijakan-kebijakan antiburuh. Menyiagakan puluhan ribu aparat keamanan hanyalah pemborosan, karena buruh bukanlah kekuatan kriminal yang menakutkan.

Pemerintah Indonesia akan dikenang kaum buruh sebagai pelindungnya apabila pada tanggal 1 Mei 2006 menetapkannya sebagai Hari Libur Nasional, membatalkan revisi UU No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, meratifikasi UN Convention 1990 on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and their Families, dan membatalkan seluruh kebijakan yang berpotensi pelanggaran hak-hak buruh.


Wahyu Susilo Aktif di INFID, Migrant CARE dan Mengajar Perburuhan di Fakultas Ilmu Administrasi Unika Atma Jaya, Jakarta