ASK
ME

REGISTER
NOW

Full opinion from Ms. Premesha Saha in Koran Sindo

12/1/2016 12:00:00 AM

Ms. Premesha Saha is our student from India. She studied law in Jawaharlal Nehru University in India then continued her study in Atma Jaya. Below is her written opinion (with Mr. Siswanto Rusdi, the director of The National Maritime Institute) that was feautured in Koran Sindo titled: Poros Maritim Dunia and OBOR (World‘s Maritime Axis and OBOR).

Please find below the full opinion of  Ms. Premesha Saha and Mr. Siswanto Rusdi in Koran Sindo (November 24, 2016 Edition):

 

Sejak dua tahun terakhir, Indonesia dan China berbagi panggung dunia dan membentot perhatian masyarakat global ke sana dengan isu kemaritiman. 

Kedua negara mengusung program jangkar masing-masing, yaitu Poros Maritim Dunia dan One Belt One Road (OBOR), dengan harapan mendapat sokongan. Jika PMD dan OBOR berjaya, Indonesia dan China dapat digolongkan sebagai kuasa maritim (maritime power) abad ke- 21, mengulangi kedigdayaan mereka pada masa klasik dulu. Kendati memiliki orientasi yang sama, PMD dan OBOR menggariskan perbedaan yang cukup mencolok di antara keduanya. 

Perbedaan itu mencakup tingkat kejelasan konsep (concept clarity) dan kesesuaian implementasi dengan konsep misalnya. Namun, ihwal kejelasan konsep ini agak sulit ditegakan karena baik PMD dan OBOR tidak—atau belum mempunyai— dokumen resmi yang dapat menjelaskannya. Maka untuk mengerti kedua konsep tersebut, pilihan yang tersedia hanya dengan melihat kesesuaian implementasi dengan konsep. Bagaimanakah postur Poros Maritim Dunia dan One Belt One Road dari sisi implementasinya selama dua tahun belakangan? Dari keduanya, manakah yang lebih memungkinkan negara pengusungnya dalam menggapai kembali kejayaan maritimnya? 

OBOR 

OBOR merupakan inisiatif yang diperkenalkan oleh Presiden Republik Rakyat China Xi Jinping pada Oktober 2013. Sementara Silk Road Economic Belt (SREB) serta Maritime Silk Road (MSR) abad ke-21, merupakan bagian dari inisiatif OBOR. Hingga saat ini, alasan utama China meluncurkan semua inisiatif tadi masih belum dapat dijabarkan secara gamblang, kendati China mengaku bahwa inisiatif yang ada murni merupakan proyek ekonomi. 

Tujuan OBOR adalah untuk meningkatkan keterhubungan (connectivity) antara Asia, Eropa, dan Afrika. Namun tak dapat dikesampingkan pula, fakta bahwa inisiatif tersebut diluncurkan setelah China menetapkan Air Defence Identification Zone (ADIZ) di atas wilayah Laut China Timur, serta menjalankan sejumlah besar kegiatan reklamasi pada berbagai pulau di Laut China Selatan. Karena itu, proyek OBOR terlihat sebagai sebuah proyek infrastruktur berskala besar, baik yang sedang berlangsung, telah direncanakan maupun proyek yang dicanangkan di masa depan serta mencakup sejumlah kesepakatan perdagangan bilateral dan regional. 

Titik fokus OBOR terletak pada serangkaian aset, termasuk bandar laut, jalan, rel kereta, bandar udara, pembangkit listrik, saluran gas dan minyak, penyulingan, free trade zones , serta sarana pendukung lainnya seperti teknologi informasi, telekomunikasi, dan infrastruktur keuangan. Inisiatif ini juga ditujukan sebagai pedoman baik bagi sektor publik dan swasta di China. 

Walaupun gambaran strategi China yang menyeluruh terkait OBOR hingga kini belum terlihat, upaya China dalam menarik investasi internasional, kebijakan pemerintah terkait pemerolehan lahan, penelitian laut untuk kepentingan eksplorasi sumber daya, dorongan terhadap ekonomi laut serta penelitian kelautan sebagai bagian kurikulum akademik merupakan cerminan keseriusan pemerintah dan golongan elite dalam mewujudkan visi utama tersebut. 

Proyek-proyek tersebut tidak hanya diarahkan pada pengembangan sisi barat negeri China yang masih tertinggal, namun juga untuk menstimulasi perdagangan dan ekspor dengan pasar dunia dan negara lain, mendorong diterimanya mata uang China secara global, serta membangun reputasi baik di antara negara-negara tetangga. Dengan skenario besar itulah, kita dapat memahami proyek- proyek pengembangan pelabuhan yang dilakukan China di negara-negara yang bersahabat dengannya. 


Ambil contoh pembangunan pelabuhan di Malaka, Malaysia. Fasilitas itu akan menjadi pelabuhan yang relatif besar dan akan beroperasi tahap awalnya pada 2019 dan ia diniatkan oleh pemerintah negeri itu untuk menyalip pelabuhan Singapura dengan proyeksi jumlah kapal yang disasar sekitar 100.000 unit per tahun. The Melaka Gateway, begitu proyek tersebut dinamai, menelan dana 43 miliar ringgit dan akan dibiayai oleh Guangxi Beibu International Port Group. 

Perusahaan ini bukan pemain baru dalam bisnis pelabuhan di Malaysia. Ia tercatat sebagai pemegang 40% saham Pelabuhan Kuantan dan Kuantan International Park di Pahang (kampung halaman PM Najib Razak) sebanyak 49%. Lalu ada pula proyek Pelabuhan Gwadar di Provinsi Balochistan, Pakistan, yang merupakan bagian dari China- Pakistan Economic Corridor (CPEC) dan bagian integral dari OBOR. Pelabuhan Gwadar beroperasi secara penuh 14 November lalu dan dioperasikan oleh China Overseas Port Holding Company yang mengambil alih pengelolaan pelabuhan ini dari PSA Singapura.

PMD 

Di sisi lain, Poros Maritim Dunia (PMD) digagas oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat ia melaju sebagai calon presiden dalam kontestasi Pemilihan Presiden 2014. Selama setahun sejak diluncurkan, PMD lebih merupakan gagasan yang “polos” dan baru belakangan dilengkapi. Adalah Presiden Jokowi sendiri yang melengkapi kepolosan konsep ini dalam Konferensi Tingkat Tinggi Asia Timur yang digelar di Kuala Lumpur, November 2015. 

Mantan gubernur DKI Jakarta itu menyebutkan ada lima unsur dalam Poros Maritim, yakni diplomasi maritim, pertahanan maritim, sumber daya maritim, budaya maritim, dan infrastruktur maritim. Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya diketahui tengah menyiapkan sebuah putih tentang PMD dan menambahkan dua pilar baru ke dalamnya. Katanya buku ini akan diluncurkan segera. Kita tunggu saja. Begitu kabinet terbentuk, visi Poros Maritim langsung dieksekusi oleh berbagai kementerian/ lembaga (K/L) yang ada walaupun tidak ada direktif atau arahan dari Presiden. 

Sebetulnya, K/L hanya menjalankan program sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya, tetapi karena ada program PMD akhirnya disematkanlah embelembel untuk menjadikan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia, mendukung Poros Maritim Dunia, atau kalimat lainnya. Tidak hadirnya direktif berujung pada tumpang-tindihnya program dan anggaran antarinstansi pemerintah. Bagaimana dengan peran swasta dalam PMD? Bagaimana mau berperan, dilibatkan saja tidak. Indonesia dan China kebetulan saling bekerja sama dalam memajukan bidang kemaritiman. Hanya, sepertinya masih belum terlihat wujud konkret kerja sama itu. 

Dalam bisnis pelabuhan, dari berbagai pemain asing yang mencari kesempatan dan memperoleh peluang merumput dalam bisnis pelabuhan nasional, baru ada Hutchison dan DP World. Apakah tidak ada yang minat dengan operator pelabuhan China? 

Siswanto Rusdi 
Direktur The National Maritime Institute 

Premesha Saha 
Kandidat Doktor Kajian Indo Pasifik, Jawaharlal Nehru University, New Delhi, India