ASK
ME

REGISTER
NOW

Demokrasi tanpa Alteritas

09/02/2009 00:00:00
Penulis/Peneliti : Prof. Dr. Alois A. Nugroho

Bidang Penelitian : Koran

Jurnal : KOMPAS

Volume : Rabu 2 September 2009
 
Tahun : 2009


Barangkali elite politik kita menduga, jikalau huruf O dari ”oposisi” dihilangkan dari kata ”demokrasi”, yang akan muncul ialah (A)demkrasi. Jika dirumuskan dengan bahasa dalang, ”ademkrasi” ialah tatanan yang tentrem, kerta, raharja (damai, makmur, sejahtera), panjang punjung pasir wukir, gemah ripah loh jinawi (yang melimpah bagai pasir dari gunung, bagai hasil bumi dari tanah yang subur).

Padahal, kenyataannya tidak. Perjalanan sejarah bangsa kita selama 64 tahun menunjukkan, usaha menghilangkan peran oposisi dari konsep ”demokrasi” telah membawa bangsa kita kepada kebangkrutan dan keprihatinan nasional. Dalam bahasa dalang, ”ademkrasi” ternyata telah membawa bangsa kita pada bumi gonjang ganjing, langit kelap-kelap katon lir kinincang ing ngalis (negeri mengalami huru-hara, langit negeri tampak gelap gulita bagai diterjang badai besar). Slogan ”kerukunan nasional” (keruk nasi) dan skema ”front nasional” dari Orde Lama telah gagal. Skema ”asas tunggal” dan indoktrinasi ”Eka Prasetya Panca Karsa” melahirkan banyak konflik setelah daya paksa (coercive power) rezim Orde Baru menemui jalan buntu.

Proses pembelajaran politik melalui deliberasi kolektif menjadi tertunda selama tiga dasawarsa. Konsepsi ”akselerasi modernisasi (ekonomi) 25 tahun” ternyata menghasilkan stagnasi proses pembelajaran sosial dan politik selama lebih dari 25 tahun.


Demokrasi dan deliberasi publik

Salah satu unsur penting dalam hakikat demokrasi ialah deliberasi publik atau collective deliberation (Denton, 2000). Dalam deliberasi publik diasah berbagai gagasan dan program yang saling berkontestasi satu sama lain. Yang dicari ialah gagasan dan program yang ”paling baik” dalam mencapai tujuan nasional serta cara ”paling adil” yang tidak membebankan banyak pengorbanan pada salah satu komponen masyarakat.

Dalam kampanye pemilu, para kontestan secara transparan menawarkan gagasan dan program di depan para calon pemilih, menjawab pertanyaan dan menangkis kritik-kritik dari publik. Dari situ, para pemilih dapat melakukan deliberasi publik dengan para pemilih lain. Pada hari pemilihan, para pemilih memasukkan suara sesuai hati nuraninya, artinya sesuai keputusan yang diambil melalui deliberasi pribadi sesudah mendapat informasi dari pelbagai deliberasi publik yang diikuti.

Dengan cara demikian, seorang pemilih berharap akan terpilihnya caleg atau capres dan cawapres yang bakal mendorong dihasilkannya undang-undang yang tak jauh berbeda dengan seandainya dia sendiri menjadi anggota badan legislatif. Secara tak langsung, pemilih ikut menghasilkan aturan main dalam kehidupan bersama. Karena itu, meski ia tetap manusia merdeka, ia wajib mematuhi aturan yang secara tak langsung ikut ditetapkannya sendiri.

Begitu juga dalam debat atau deliberasi publik di parlemen yang kian transparan dan dapat diikuti publik melalui media cetak maupun elektronik. Di parlemen diuji juga berbagai gagasan dan rencana aturan main dan diupayakan rumusan yang ”paling baik” dan ”paling adil”. Di parlemen juga dipersoalkan berbagai kebijakan dan perilaku eksekutif dalam deliberasi kolektif antaranggota parlemen. Pada gilirannya, sepak terjang parlemen dan anggotanya, juga pihak eksekutif dan yudikatif, menjadi topik bahasan dalam pelbagai diskursus politik informal di sejumlah media, perguruan tinggi, perkumpulan agama, singkatnya di ranah civil society (Rawls, 2005).


Alteritas dan deliberasi publik

Namun, syarat penting bagi demokrasi yang sehat dan bergizi semacam itu ialah adanya kontestasi gagasan dan program. Adanya liyan atau alteritas dalam hal gagasan dan program, adanya ”suara lain”, adanya ”pluralitas”, merupakan syarat bagi demokrasi yang tidak mengalami malanutrisi. Deliberasi publik tidak akan jalan jika tidak ada gagasan lain atau program lain yang perlu diuji bersama.

Deliberasi publik tidak akan berjalan jika gagasan lain atau program lain berasal dari satu ”front” (Orde Lama) atau berasal dari partai-partai dengan satu ”asas kekeluargaan” (Orde Baru) atau berasal dari mitra ”koalisi besar”. Jika itu terjadi, jangan-jangan parlemen akan turun derajat, dari ruang ”deliberasi publik formal”, menurut Rawls, menjadi riuh rendahnya ”arisan keluarga”. Dalam jangka pendek, mungkin demokrasi tanpa oposisi akan mendatangkan efisiensi, dengan cara mengurangi resistensi di parlemen, mempermulus produksi undang-undang dan memperlancar roda pemerintahan umumnya. Namun, dalam jangka pendek pun, demokrasi tanpa oposisi akan menimbulkan korban. Siapa alteritas yang akan memperjuangkan pihak-pihak yang diperlakukan tak adil oleh ketentuan hukum dan kebijakan publik?

Jika dibuat analogi antara politik dan ekonomi, demokrasi yang mengalami malanutrisi ini bagai ”persaingan usaha yang tidak sehat”. Koalisi besar dalam bidang politik dan oligopoli ekonomi menjadi kurang lebih sama. Koalisi besar yang dilakukan para pelaku politik itu mirip tacit agreement (kesepakatan diam-diam) yang dilakukan para pelaku usaha. Para penyedia jasa telepon seluler pernah dituduh melakukan ”kesepakatan” itu beberapa waktu lalu menyangkut penentuan harga (pricing). Akibatnya, harga tiap SMS yang harus dibayar konsumen lebih tinggi dari seharusnya. Jika ”persaingan usaha yang tidak sehat” akan merugikan konsumen, ”demokrasi yang tidak sehat” akan merugikan konstituen.

Namun, yang lebih mengkhawatirkan ialah surutnya alteritas ini lambat atau cepat akan menyulut neototalitarianisme, seperti sudah diobservasi dan dianalisis Hannah Arendt (1958). Jika itu terjadi, tidak ada lagi kata ”tidak” yang otentik. Yang ada pada dasarnya ialah sebuah ”Ya”: Satu Rakyat. Satu Pemimpin. Satu Ya. Dalam jangka panjang, demokrasi tanpa alteritas akan sekali lagi memacetkan proses pembelajaran sosial dan politik bangsa, bersifat kontraproduktif terhadap upaya ”mencerdaskan kehidupan bangsa” dan, lebih serius lagi, menyimpang dari salah satu ”tujuan nasional”.


Alois A Nugroho
Guru Besar Filsafat Fakultas Ilmu Administrasi Unika Atma Jaya; Pascasarjana Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia; Pascasarjana Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara