ASK
ME

REGISTER
NOW

Dana Aspirasi dan Industri Politik

06/21/2010 00:00:00
Penulis/Peneliti : Prof. Dr. Aloisius Agus Nugroho

Bidang Penelitian : Etika

Jurnal : Koran

Volume : Sabtu 19 Juni 2010

Tahun : 2010

Wacana tentang Dana Aspirasi termasuk salah satu wacana politik yang menghebohkan. Heboh itu marak sejak fraksi Partai Golkar menyampaikan pandangan terhadap RAPBN 2011. Diusulkan, agar ada dana sebesar Rp 15 miliar per daerah pemilihan per tahun yang diberikan kepada setiap anggota DPR. Dilihat dari sudut etika politik dan etika administrasi publik, isu Dana Aspirasi memperpanjang deretan keprihatinan atas perjalanan demokrasi kita selama setahun terakhir. Ada pihak-pihak yang mengkhawatirkan bahwa dana itu lebih banyak akan digunakan untuk “politik uang” atau untuk memuluskan jalan bagi terpilihnya kembali para anggota dewan pada Pemilu 2014 nanti. Suara yang lebih to the point mengatakan bahwa usul Dana Aspirasi jika dilaksanakan akan merupakan “penipuan gaya baru dengan mengatasnamakan konstituen”.

Theodor Adorno dan Max Horkheimer pernah mengajukan kritik sosial dengan konsep “industri kebudayaan”. Beranalogi dengan itu, konsep “industri politik” dapat dipakai untuk menyoroti perilaku para politisi dan administrator publik Indonesia pasca reformasi. Sebenarnya cukup ironis, kalau masa transisi yang mengawali reformasi ini dimulai dengan masa singkat administrasi Habibie yang terkenal karena “politik industri”, sekarang reformasi harus terdampar pada era “industri politik”.

Dalam bukunya Kapitalisme Semu di Asia Tenggara (LP3ES, 1990), Yoshihara Kunio menyebut pentingnya peranan seorang Habibie bagi Indonesia. Peranan itu menyangkut pemikiran dan kebijakannya tentang pengembangan industri manufaktur, sektor riil atau sektor sekunder dalam perekonomian Indonesia – sektor yang dewasa ini oleh banyak pihak dinilai memble. Kalau Kunio benar, politik Habibie untuk sebagian dapatlah disebut “politik industri”. Masih ingat kita, bagaimana pak Habibie dengan mata berbinar-binar berbicara tentang “nilai tambah” yang muncul apabila kita mengekspor “kereta api” atau “pesawat terbang”, dibanding kalau – seperti rezim sekarang – kita hanya menjual bijih besi mentah dan semua produk sektor primer.


Demokrasi dan Pasar

Tetapi “industri politik” lain dengan “politik industri”. Industrialisasi politik muncul ketika cara berpikir dan cara berperilaku dari ruang publik ekonomi atau “pasar” merembes dan mewarnai secara mendalam ruang publik politik, termasuk administrasi publik. Memang benar bahwa bagi para pakar etika komunikasi politik – mengutip John Stuart Mill dan Thomas Jefferson – demokrasi adalah marketplace of ideas, “pasar bebas” dari ide-ide. Namun dalam “industri politik”, proses politik yang diberi label dan citra “demokrasi” itu hanyalah marketplace. Hanyalah pasar. Titik.

Dalam demokrasi sejati sebagai “pasar bebas gagasan-gagasan”, setiap gagasan dan program harus diberi tempat, terlepas dari apakah partai dan orang yang melontarkan ide dan program politik itu punya uang atau tidak. Dengan demikian, publik memiliki spektrum pilihan yang luas untuk dibahas dalam deliberasi kolektif mereka. Daya tarik dan daya gugah gagasan-gagasan itu merupakan kekuatan yang bagaikan magnet mengundang publik untuk menjatuhkan pilihan mereka. Dalam demokrasi sejati, kekuatan yang relevan ialah kekuatan argumentasi, bukan kekuatan fisik dan bukan kekuatan finansial. Rezim Orde Baru dengan topangan militer boleh dikatakan untuk sebagian besar mengandalkan kekuatan fisik itu. Sekarang, tanpa menutup mata pada kasus-kasus seperti yang menimpa almarhum Munir, ada bahaya kekuatan finansial mendominasi proses politik kita dan membuat merana kebiasaan deliberasi kolektif yang baru mulai tumbuh.

Dalam demokrasi “semu” sebagai semata-mata “pasar”, kekuatan finansial betul-betul mendominasi proses politik dan administrasi publik, baik di ranah eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Kiat-kiat bisnis, semisal integrated marketing, semakin berpengaruh dan dipraktikkan dalam cara-cara paling harafiah, seperti dalam bentuk iklan-iklan politik (above the line dan below the line), temu muka politik gaya “public relation” dan bukan gaya “rembug desa”, menyewa event organizer internasional dengan biaya mahal, dan sales promotion (mulai dari mem- bagi kaos sampai dengan money politics). Fenomena selebritisasi politik berhubungan erat pula dengan industrialisasi politik ini. Jarak antara dunia politik dan dunia gemerlap (dugem) menjadi amat tipis..

Kursi di badan legislatif dan di birokrasi ada “harga”-nya dan sekaligus memberi “peluang finansial”, seperti amat mencolok dalam kasus “mafia perpajakan” dan wacana “Dana Aspirasi”. Maka kalau sebelumnya kita kenal “ekonomi biaya tinggi” (high cost economy) sebagai akibat korupsi, sekarang kita kenal “high cost politics” sebagai akibat industrialisasi politik di ranah legislatif maupun eksekutif. Di ranah yudikatif, industrialisasi administrasi keadilan telah menghasilkan high cost justice, seperti muncul dalam fenomena “mafia peradilan” dan “makelar kasus”. “Politik biaya tinggi” dan “keadilan biaya tinggi” ujung-ujungnya akan bermuara juga pada korupsi dan “ekonomi biaya tinggi”. Terjadi proses saling mempengaruhi, saling meningkatkan, dalam sebuah lingkaran setan.

Dana Aspirasi hanya sebuah kasus. Industrialisasi politik telah mencederai demokrasi era reformasi dan peningkatan biaya yang disebabkannya akan harus dipikul rakyat. Proses politik dan administrasi publik lalu bukan lagi proses “untuk rakyat”, karena tidak lagi dijalankan “dari rakyat, oleh rakyat”.


Penulis adalah guru besar Fakultas Administrasi dan staf Pusat Pengembangan Etika Atma Jaya