ASK
ME

REGISTER
NOW

Tawuran dan Komunikasi Kebencian

10/22/2012 00:00:00
Penulis/Peneliti : Alois A. Nugroho

Bidang Penelitian : Etika


Jurnal : Koran SUARA PEMBARUAN


Volume : 20 Oktober 2012

Tahun : 2012


Pada 24 September 2012, publik dikejutkan oleh berita jatuhnya korban jiwa dalam tawuran antar pelajar di bilangan Jakarta Selatan. Tak berapa lama kemudian, pada 11 Oktober 2012, publik dikagetkan kembali oleh jatuhnya korban jiwa dalam tawuran antar mahasiswa di Makassar.


Jatuhnya korban jiwa membuat kedua peristiwa tawuran itu diangkat oleh media. Tawuran yang tak menjadi berita tentu masih jauh lebih banyak lagi. Menurut data kepolisian, di Jakarta saja terjadi tak kurang dari sembilan kali tawuran antar pelajar selama 2012 hingga September. Namun tawuran yang luput dari perhatian dan tidak terdata, mungkin jauh lebih banyak.

Menurut Antara News, tak kurang dari Menko Kesra sendiri yang pada 13 Oktober 2012 mengakui bahwa tawuran antar pelajar dan antar mahasiswa sudah amat parah, sudah menyalakan “lampu merah”. Mendikbud, yang langsung bertanggung jawab atas dunia pendidikan formal, pada 12 Oktober 2012 sudah mengeluarkan ancaman bahwa akreditasi Perguruan Tinggi akan diturunkan jika mahasiswanya terlibat tawuran. 
 

Komunikasi  Kebencian

 Rita Kirk Whillock, guru besar etika komunikasi  dari Southern Methodist University, AS, juga prihatin atas kenyataan empiris bahwa sebagian besar tawuran melibatkan pelaku-pelaku berusia muda. Tawuran antar pelajar, seperti halnya perundungan (bullying),    umumnya tidak dianggap sebagai  semata-mata kriminalitas bermotifkan kebencian (hate crime), melainkan sebagai “kenakalan anak muda” (juvenile delinquency).  Maka, tawuran tak hanya harus dilihat sebagai kasus pelanggaran hukum, tetapi harus dilihat juga sebagai permasalahan pendidikan.

Sebagai permasalahan pendidikan, soal tawuran ialah soal bagaimana menumbuhkan karakter yang tidak asal mengumbar agresivitas, bagaimana menumbuhkembangkan karakter yang tidak dikuasai oleh dorongan untuk meniadakan atau mengalahkan orang lain. Umat manusia sebenarnya sudah mengatur dan menyalurkan dorongan agresif ini ke dalam bentuk-bentuk aktivitas yang lebih berbudaya. Olah raga misalnya. Artinya, fenomena tawuran antar anak muda barangkali ada kaitannya dengan merosotnya prestasi olah raga kita, korupsi wisma atlet, sampai sorotan tajam terhadap kinerja Kementerian Pemuda dan Olah Raga.

Maka yang diperlukan ialah pendidikan budipekerti dengan pendekatan etika kebajikan (virtue ethics). Yang dibutuhkan bukanlah pertama-tama pendidikan yang mengajarkan perintah dan larangan, yang berhamburan dengan kata-kata “harus” dan “jangan”. Dalam pendekatan etika kebajikan ini, peran panutan amatlah penting. Dalam pendekatan etika kebajikan, berlaku ungkapan Inggeris, action speaks louder than words. Perilaku panutan berpengaruh lebih besar daripada kata-katanya. Dalam konteks inilah, Rita Kirk juga menyoroti pengaruh komunikasi kebencian yang diperlihatkan oleh para panutan, utamanya para orang tua, guru, tokoh masyarakat dan elite politik, baik dalam komunikasi antar-pribadi, komunikasi antar-budaya,  komunikasi  sosial maupun komunikasi politik. (Whillock, 2000).

Sikap sportif mantan gubernur DKI Fauzi Bowo dalam menyambut kemenangan pesaingnya, Jokowi-Basuki, merupakan inspirasi bagus bagi anak muda dalam hal bagaimana mengendalikan agresivitas. Halnya berkebalikan dengan kampanye bebaskan Jakarta dari kumis, yang dilontarkan salah satu pesaing Fauzi Bowo (yang kumisnya merupakan penanda khas). Kampanye “bebas kumis” itu merupakan agresivitas yang kurang dibudayakan,  biarpun “kumis” adalah singkatan dari pemukiman “kumuh dan miskin”.  Begitu pula halnya dengan serangan berbau SARA terhadap Jokowi dan utamanya Basuki. Sangat disayangkan, bahwa aksi semacam itu konon masih dimunculkan oleh seorang kandidat Wagub dalam debat menjelang putaran kedua.

Sejauh mana pihak-pihak berwenang menangani atau membiarkan aksi-aksi kekerasan sosial atas nama apa pun, termasuk klaim kesahihan agama, juga menjadi pesan komunikasi yang bagi khalayak muda terdengar lebih nyaring bunyinya daripada pesan berupa ujaran. Mungkin bukan kebetulan pula bahwa tawuran anak muda di Kebayoran dan Makassar terjadi tak jauh jarak waktunya dari terkuaknya kasus korupsi dalam pengadaan simulator SIM, penyerbuan dan pengepungan oknum-oknum Polri di kantor KPK (5 Oktober 2012) dan heboh tentang niat DPR untuk merevisi UU KPK.

 
Peran Media

Dalam pelbagai wawancara radio dan televisi, beberapa pejabat Departemen Pendidikan dan Kebudayaan mengeluhkan media yang membesar-besarkan kasus-kasus tawuran pelajar dan mahasiswa itu. Di satu sisi, keluhan atas pemberitaan semacam ini memang menimbulkan kesan mengelak dari tanggung jawab. Di lain sisi, karakter media juga sering menimbulkan kesan bagi khalayak bahwa pemberitaan media kurang proporsional dan kurang memperhatikan konsekuensi sosialnya. Sebuah stasiun televisi menggambarkan kekerasan sampai ke detil-detilnya. Sebuah media cetak ternama memuat foto oknum Angkatan Udara mencekik dan menindih seorang wartawan di halaman utama, berwarna dan dengan ukuran sebesar layar komputer tablet.

Sebagai pilar keempat demokrasi, media memang perlu memiliki kebebasan untuk mengatakan seluruh aspek kebenaran, tanpa menyembunyikan secuil pun fakta. Kewajiban etis wartawan berbeda dengan kewajiban etis humas. Praktisi humas memang wajib menyatakan kebenaran, tidak boleh menipu dan menyesatkan. Namun praktisi humas tidak harus mengungkapkan semua aspek kebenaran, karena dia juga wajib menjaga hal-hal yang konfidensial mengenai kliennya. Tugas wartawan justru harus mengungkap hal-hal yang tak diungkapkan praktisi humas ini, utamanya hal-hal konfidensial yang dapat berdampak buruk bagi khalayak.

Masalah yang dalam kebebasan pasca-reformasi ini perlu dipertimbangkan ialah, pengemasan suatu berita dapat saja memicu konsekuensi buruk pada khalayak. Masalah etisnya dapatlah dirumuskan begini: kewajiban untuk memberitakan kebenaran perlu dipertimbangkan bersama kewajiban untuk menghindarkan dampak buruk (do no harm). Sebagian besar komunikasi kita adalah komunikasi yang dimediasi atau diperantarai oleh media. Akan sangat tidak mendidik, bila media ikut menyebarkan dan mempertontonkan komunikasi kebencian secara visual, berwarna, sebesar layar kaca. Bahkan dalam komunikasi verbal, menggunakan kata “mendatangi” akan memberi konsekuensi yang berbeda dengan menggunakan kata “menyerbu” atau “mengepung”.

Komunikasi dalam “media baru” atau internet akan menimbulkan masalah etis lebih besar lagi. Khalayak pengguna akan tersegmentasi dalam jaringan-jaringan yang kadang-kadang memelihara komunikasi kebencian terhadap kelompok lain.  Dalam pelbagai forum, para moderatorsering tidak menyaring komunikasi kebencian. Harus diakui pula, bahkan surat-surat elektronik para dosen tidak jarang memuat atau meneruskan komunikasi kebencian semacam itu, bukan sebagai obyek penelitian atau obyek diskusi, tetapi sebagai tindak komunikasi. Dalam pendekatan etika kebajikan, tawuran anak muda tidak dapat dilepaskan dari kaitannya dengan komunikasi kebencian,  utamanya yang dilakukan oleh para tokoh panutan dan dikomunikasikan oleh media ke masyarakat. Whillock mengeluhkan, bahwa praktik komunikasi kebencian sering sudah merupakan bagian dari kebiasaan, muncul dalam khotbah, menghiasi hampir semua sinetron, tak terpisahkan dari infotainmen, memiliki nilai berita tinggi, merajalela dalam kampanye politik, dan lain-lain. Kita tak lagi menyadari bahwa komunikasi kita mengekspresikan agresivitas yang kurang dibudayakan. Jadi, kita semua perlu mawas diri dan memperbaiki perilaku komunikasi kita.



Penulis adalah guru besar filsafat dan etika di Fiabikom Unika Atma Jaya, dosen filsafat dan etika komunikasi di Program Pascasarjana Ilmu Komunikasi, Universitas Indonesia.