ASK
ME

REGISTER
NOW

The Iron Lady dan Politik Berbasis Nilai

02/13/2012 00:00:00

Logo Atma


Oleh: Alois A. Nugroho


Filem berjudul "The Iron Lady" masih hangat diputar di gedung-gedung bioskop di Jakarta. Seperti dapat diduga dari judulnya, filem itu membeberkan kisah Margaret Thatcher, yang dalam percaturan politik internasional dijuluki sebagai perempuan berhati besii. Tokoh Margaret Thatcher dalam usianya yang matang diperankan oleh aktris kawakan Meryl Streep, yang praktis menjadi faktor utama yang membuat filem ini layak untuk ditonton. Dalam The Iron Lady, Meryl Streep tampil amat memukau, sama dengan dalam filem-filem lain yang pernah dibintanginya, semisal Out of Africa, Sophiees Choice atau French Lieutenantts Woman.


Filem ini menampilkan Margaret Thatcher sebagai figur politik yang keras, namun ada pula adegan-adegan yang membuatnya cocok ditonton pada hari Valentine. Denis Thatcher (diperankan oleh Jim Broadbent) berkesempatan meminangnya ketika Margaret mengalami kekalahan dalam debut sebagai calon anggota DPRD dari Partai Konservatif. Denis Thatcher, yang empat belas tahun lebih tua dari Margaret, membujuk dengan mengatakan bahwa anak seorang pemilik toko kelontong seperti Margaret sulitlah untuk menjadi wakil dari Partai Konservatif. Untuk bisa berhasil, begitu bujuk Denis, Margaret harus bersedia menikah dengan seorang pebisnis kaya seperti dirinya. Maka Margaret muda yang amat ambisius itu pun menjawab yaa terhadap pinangan Denis Thatcher.


Tetapi, meski seakan-akan berupa marriage by convenience, kehidupan berumah tangga Denis dan Margaret ini berjalan bagai dongeng, they live happily ever after. Pak Denis Thatcher meninggal pada 2003. Dan tentang mendiang suaminya itu Margaret Thatcher menulis:"Menjadi Perdana Menteri adalah pekerjaan yang menimbulkan kesepiannNamun adanya Denis di sisiku membuatku tak pernah merasakan kesepian itu. Pria yang hebat. Suami yang luar biasa. Sahabat yang hangatt.



Pemimpin berprinsip


Kepemimpinan perempuan berhati besi itu adalah kepemimpinan yang memegang teguh prinsip dan nilai. Disebut berhati besii karena Margaret Thatcher tidak mudah dibengkokkan dari prinsipnya. Bagi si Wanita Besi, seorang pemimpin harus dipandu oleh prinsip-prinsip atau nilai-nilai yang dirumuskan jelas, dipegang teguh, diamalkan sungguh-sungguh. Itulah yang disebutnya conviction politicss. Politik berprinsip atau politik berbasis nilai adalah politik yang menganggap kekuasaan hanya sebagai sarana untuk mewujudkan prinsip-prinsip. Bahkan cara untuk mendapatkan kekuasaan dan menjalankan kekuasaan itu pun tidak pernah sekali pun boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip itu. Kata Margaret Thatcher::Saya sungguh-sungguh yakin bahwa cara berpolitik yang mendasarkan diri pada kekerasan, pada intimidasi, dan pada korupsi atau pencurian, pada saatnya akan runtuhh. Kekuasaan tak pernah boleh menjadi tujuan pada dirinya sendiri. Koalisi politik demi kekuasaan saja adalah hal yang dikecam keras oleh si Wanita Besi, karena dalam koalisi semua partai pendukung harus mau mengorbankan keyakinan, prinsip, nilai dan kebijakann, sehingga yang muncul adalah kepemimpinan yang tak dipercaya oleh siapa pun, meski juga tak menimbulkan keberatan dari siapa punn.

Dalam konteks ini, membentuk koalisi hanya untuk membagi-bagi kursi dan membagi-bagi rejeki bagi kantong partai, sebagai modal untuk mendanai politik uangg dalam pemilu-pemilu berikutnya, jelas akan mendapat kecaman dua kali lebih keras. Politisi yang baik bukanlah politisi yang kerjanya hanya menjaga citra dan tingkat popularitas. Bagi si Wanita Besi, politisi yang hanya sibuk dengan citra dan popularitas akan cenderung bersedia berkompromi dalam hal apa pun, kapan pun, dengan siapa pun. Politisi demikian hanya akan seperti kerbau bingung, sehingga tak akan mampu mewujudkan apa pun yang dijanjikannya dalam kampanye-kampanye Pemilu. Komitmen kepada nilai-nilai atau prinsip-prinsip moral ini tidak dapat dipisahkan dengan kewajiban para politisi untuk mengasah kompetensi. Bagi si Wanita Besi, dalam urusan politik tingkat tinggi, seorang politisi harus tahu mengenai apa yang tak diketahuinya menyangkut hal yang seharusnya dia tahu. Dia dengan demikian harus mempelajarinya dan menguasainya. Orang-orang yang menganggap dirinya tahu, padahal sebenarnya tidak, dan bertindak berdasarkan persepsi-diri yang keliru itu adalah orang-orang paling berbahaya untuk berada pada pucuk pimpinann. Keteguhan sikapnya juga tampak dalam masalah Uni Eropa dan terlebih masalah kesatuan mata uang Eropa. Seakan-akan meramalkan apa yang mencekik Eropa hari-hari ini, si Wanita Besi mengatakan: Kesatuan mata uang Eropa itu pasti gagal, secara ekonomis, politis dan sosial, meski saat terjadinya, peristiwa pemicunya, dan akibat-akibatnya tentu saja belum kita ketahui jelas sekarangg. Dapat dipahami, tidak semua orang dapat setuju dengan prinsip-prinsip konservatif Thatcher, apalagi kaum intelektual pada umumnya. Si Wanita Besi termasuk penganjur dari apa yang kita kenal sebagai Neoliberalisme. Seperti Partai Republik di Amerika Serikat, partainya juga penganjur big business, yang menolak terlalu banyak campur tangan negara dalam urusan ekonomi.

Padahal, yang disebut hak-hak asasi manusia generasi keduaa sering baru dapat terwujud dengan bantuan regulasi dari negara. Thatcher berpendapat bahwa orang miskin selalu ada dalam segala zaman dan mereka dapat menjadi kaya, asal mau meningkatkan kerajinan dan kemampuan. Tak terpikir olehnya, bahwa orang miskin menjadi miskin karena tata ekonomi domestik dan global tak pernah ditentukan oleh mereka. Dia berpendapat, bahwa negara sedang berkembang seharusnya dapat sekaya negara maju, asal saja mereka rajin dan giat bekerja. Tak diperhitungkannya, akibat fisik, mental dan kultural yang telah diwariskan oleh sebagian negara maju, termasuk Inggris, di negara-negara bekas jajahan mereka. Akan tetapi, yang dapat dipelajari dari si Wanita Besi ialah sikapnya bahwa kepemimpinan dan politik haruslah berbasis nilai dan prinsip moral. Politisi paling kirii pun dapat belajar darinya. Hanya para politisi pragmatis, yang tidak dipandu nilai dan prinsip etika serta hanya mengincar kekuasaan demi keuntungan diri atau kelompok saja, yang mungkin tidak perlu belajar darinya. Dalam konteks Republik Indonesia, para politisi Pancasilais seharusnya juga dapat bercermin pada keteguhan sikap si Wanita Besi itu dalam memegang dan mewujudkan prinsip-prinsipnya. Jangan sampai kelima prinsip itu dikorbankan dan dikompromikan demi popularitas dan citra, demi jabatan dan keuntungan semata.

 



Penulis adalah gurubesar filsafat dan etika di Fakultas Ilmu Administrasi Bisnis dan Ilmu Komunikasi dan staf Pusat Pengembangan Etika Atma Jaya