ASK
ME

REGISTER
NOW

Soal Warga Indonesia tanpa Paspor di Malaysia

01/13/2006 00:00:00
Penulis/Peneliti : Wahyu Susilo

Bidang Penelitian : Ketenagakerjaan dan Hubungan Industrial

Jurnal : Kompas

Volume : 12 Januari 2006

Tahun : 2006

 

Membaca artikel "Tahunan dalam Dahaga Penantian" oleh Dr Hamid Awaluddin, Menteri Hukum dan HAM (Kompas, 31/12/2005), ada beberapa hal yang perlu dikomentari.

Secara umum, pandangan itu terlalu menyederhanakan masalah dan menyodorkan solusi tanpa melihat rimba masalah yang berurat akar puluhan tahun. Tulisan ini mencoba membedah masalah ratusan ribu warga Indonesia tanpa paspor di Malaysia yang harus menjadi salah satu pembicaraan serius pertemuan Joint Committee Indonesia-Malaysia di Bukittinggi, 12-13 Januari 2006, yang dipimpin Abdullah Badawi dan Susilo Bambang Yudhoyono.

Secara historis, hubungan masyarakat Malaysia-Indonesia telah berlangsung lama. Secara genealogis, beberapa etnis Indonesia, seperti Bugis, Dayak, Madura, Jawa, Sasak, dan Flores, telah menjadi bagian demografi politik Malaysia. Munculnya negara modern, memberi batas-batas administratif kekerabatan masyarakat, relasi kultural pun tergerus birokrasi kewarganegaraan, menyebabkan lalu lintas masyarakat harus dikontrol dengan dokumen kewarganegaraan. Inilah awal terjadinya masalah kewarganegaraan.

Dari runutan sejarah terlihat relasi kultural merupakan salah satu akar masalah banyaknya warga Indonesia tanpa paspor di Malaysia. Relasi kultural ini yang direproduksi secara ekonomi dalam migrasi tenaga kerja. Eskalasi pertumbuhan ekonomi Malaysia, sejak 1970 berkat platform ekonomi New Economic Policy, membutuhkan banyak tenaga kerja murah dan hanya bisa dipenuhi dengan mendatangkan tenaga kerja dari luar negeri. Hingga kini pekerja Indonesia adalah tenaga pendatang terbanyak. Mereka ke Malaysia, ada yang melalui agen pengerah tenaga kerja, tetapi kebanyakan datang sendiri atau dalam kacamata legal-formal, TKI ilegal.


Masalah politik

Soal lain yang menjadi penyebab warga Indonesia di Malaysia adalah masalah politik. Kegagalan politik konfrontasi yang digalang Soekarno menyebabkan banyak sukarelawan Indonesia tertahan di perbatasan-perbatasan dan akhirnya mereka menetap di Malaysia. Dalam kunjungan ke Negara Bagian Sabah, Malaysia Timur, penulis menemukan banyak komunitas Jawa menetap di Pulau Labuhan di lepas pantai
Sabah. Mereka adalah eks sukarelawan "Ganyang Malaysia".

Mengapa Malaysia terkesan membiarkan akumulasi warga Indonesia tak berpaspor, bahkan mau memberi mereka status permanent resident? Malaysia adalah negara dengan multietnis. Awalnya, etnis Melayu merupakan mayoritas dan mulai terimbangi dengan derasnya migrasi etnis India, Banglades, dan China ke Malaysia. Komposisi etnis ini selalu menjadi isu politik di Malaysia.

Untuk mempertahankan etnis Melayu, Pemerintah Malaysia cenderung mengakomodasi kehadiran etnis-etnis serumpun etnis Melayu, yang kebetulan berasal dari Indonesia. Politik akomodasi diwujudkan dalam kemudahan memperoleh permanent resident bagi etnis serumpun dengan etnis Melayu, bahkan kemungkinan menjadi warga negara Malaysia. Demikian juga untuk perekrutan tenaga kerja, preferensi utamanya adalah tenaga kerja asal Indonesia.

Tentu ada pamrih jika Malaysia menerapkan politik akomodasi bagi etnis serumpun. Karena jumlahnya jutaan, mereka kerap dimobilisasi sebagai voter dalam Pilihan Raya (Pemilihan Umum) Malaysia untuk memenangkan UMNO. Dengan diberi ID card Malaysia, selain mendapat hak sama dengan warga Malaysia untuk pelayanan publik, mereka juga terdaftar sebagai pemilih dalam Pilihan Raya. Bagi rezim politik yang didominasi UMNO, tambahan 2-3 juta pemilih (dari warga Indonesia tak berpaspor) dominasi politik UMNO bisa dipertahankan.

Dari luasnya persoalan warga Indonesia tak berpaspor di Malaysia, penyelesaiannya tidak sekadar memberi paspor seperti telah diupacarakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat berkunjung ke Malaysia pada Desember 2005. Diperlukan penyelesaian lebih komprehensif terkait masalah buruh migran Indonesia yang tak pernah terselesaikan di Malaysia.

Ratusan ribu

Saat meneliti di negara bagian Sabah-Malaysia Timur, penulis mengidentifikasi 300.000 warga Indonesia tak berdokumen yang menetap puluhan tahun di sejumlah perkebunan milik perusahaan Malaysia. Mereka tidak bisa mendapat akses kesehatan dan pendidikan karena tidak memiliki dokumen. Mereka bukan hanya penduduk berusia dewasa, separuhnya anak-anak dan remaja. Jika persoalan tidak diselesaikan, dikhawatirkan status kewarganegaraan mereka terombang- ambing dan menjadi generasi tanpa masa depan.

Dengan diratifikasinya Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik serta Kovenan Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, jika status kewarganegaraan "dipulihkan" menjadi warga Indonesia, Pemerintah RI wajib memenuhi hak-hak sipil dan politik serta hak-hak ekonomi, sosial, dan budayanya.

Berlarut-larutnya masalah warga Indonesia tak berpaspor di Malaysia tak lepas dari buruknya performance negara dan cenderung abai terhadap warga negaranya yang ada atau bekerja di luar negeri. Alih-alih melayani dan melindunginya, warga Indonesia malah kerap menjadi korban pemerasan dan ketidakpedulian pejabat perwakilan RI di luar negeri. Kini Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sedang menyelidiki dugaan korupsi dalam pelayanan dokumen keimigrasian untuk warga Indonesia yang membutuhkan. Kondisi itu mempersulit warga Indonesia mengurus dokumen kewarganegaraan dan makin mendorong mereka tetap berada di Malaysia meski tanpa dokumen.

Nasib sial dialami Hasanuddin Sinring, warga Indonesia tak berpaspor di Sabah, Malaysia Timur. Bersama warga Filipina, Hasanuddin dituduh bersekongkol dalam pembunuhan berencana atas seorang perempuan Malaysia. Atas kejahatan ini, mereka terancam hukuman mati. Selama ini warga Filipina dibela pemerintahnya, sedangkan Hasanuddin tidak mendapat layanan hukum dari pemerintahnya. Alasannya, kata pihak perwakilan RI di Kota Kinabalu (ibu kota negara Sabah), tidak ada bukti Hasanuddin Sinring adalah warga Indonesia karena tidak memiliki paspor. Tragis.

Wahyu Susilo Labour Policy Analyst di Migrant CARE (Perhimpunan Indonesia untuk Buruh Migran Berdaulat); Mengajar Ketenagakerjaan dan Hubungan Industrial di FIA Unika Atma Jaya Jakarta