ASK
ME

REGISTER
NOW

Saatnya Kereta Api Berubah

10/04/2010 00:00:00
Penulis/Peneliti : Prof. Dr. Aloisius Agus Nugroho

Bidang Penelitian :

Jurnal : Koran

Volume : Senin, 4 Oktober 2010

Tahun : 2010


Hari jadi kereta api diperingati pada 28 September 2010. Tema hari peringatan tahun ini ialah ”Saatnya untuk Berubah”. Maka, sangatlah ironis apabila kurang dari lima hari setelah perayaan Hari Jadi Kereta Api terjadi sekaligus dua kecelakaan fatal pada 2 Oktober 2010 dini hari. Di Stasiun Petarukan, dekat Pemalang, KA Argo Bromo Anggrek menabrak secara dahsyat dari belakang KA Senja Utama jurusan Semarang. Di Stasiun Purwosari, Solo, KA Bima menyenggol KA Gaya Baru (Kompas, 3/10/2010). Yang patut dicatat ialah bahwa para petinggi mensinyalir dalam kedua kecelakaan itu yang bertanggung jawab adalah human error.



Kelalaian siapa?

Sudah jelas dalam human error kesalahan terjadi pada faktor manusia. Masinis, asisten masinis, dan pengatur perjalanan akan dengan mudah dianggap sebagai makhluk yang bertanggung jawab dalam kecelakaan ini. Padahal, mungkin saja masinis dan asisten masinis kesal karena petugas restorasi terlambat mengantar jatah makan mereka, atau barangkali ada ”ketidakadilan” kondektur dalam mengatur ”pendapatan sampingan”. Atau gara-gara atasan langsung tidak sungguh-sungguh melaksanakan fungsi ”pengawasan” dan tidak sungguh-sungguh melaksanakan (dalam jargon manajemen SDM Indonesia) fungsi ”pembinaan”. Mungkin, eksekutif puncak PT Kereta Api Indonesia (KAI) tidak menjalankan valuesful leadership, sebaliknya malah mempraktikkan valuesless leadership.

Begitu banyak manusia terlibat dalam organisasi PT KAI. Sebagai organisasi, PT KAI (dan Kementerian Perhubungan serta Kementerian BUMN seumumnya) akan terlalu tidak bertanggung jawab apabila human error hanya dimengerti sebagai kesalahan masinis, asisten masinis, dan pengatur perjalanan di stasiun-stasiun terkait. Dalam konteks budaya organisasi, praktik membatasi tanggung jawab hanya pada operator langsung semacam itu mungkin malah dapat disebut sebagai melemparkan tanggung jawab kepada scapegoat error.

Pembatasan tanggung jawab seperti itu malah memperlembek niat untuk ”sudah saatnya berubah”. Perubahan yang serius harus terjadi tidak hanya di lapisan terbawah yang berhadapan langsung dengan pelanggan (frontliners), tetapi lebih dulu harus terjadi di lapisan puncak. Memang, pelanggan kereta api akan terutama melihat adanya ”perubahan” budaya organisasi dalam interaksi mereka dengan frontliners. Namun, untuk dapat mengubah sistem nilai dan pola perilaku mereka, orang-orang lapisan terbawah harus dapat melihat nilai dan perilaku organisasi mereka sungguh-sungguh ”dipentaskan” oleh para petinggi. Dalam konteks etika ini pun berlaku semboyan, there’s no business that’s not a show business.

Maka, dalam kasus kecelakaan kereta api ini, pertanyaannya tidak seharusnya hanya dibatasi pada kelalaian frontliners terkait, tetapi juga menyangkut apakah nilai-nilai organisasi ”dipentaskan” oleh para petinggi. Dari sudut etika bisnis dan etika administrasi publik, penyebab terpenting dari ”kelalaian karyawan” ialah ”kelalaian eksekutif”.


Perubahan budaya

Tekad ”saatnya untuk berubah” tidak selayaknya dipersempit dan dimengerti dari sudut ”anatomi organisasi” saja, katakanlah dari sudut struktur organisasi, struktur aset, serta perangkat keras organisasi lainnya (Bartlett dkk: 2003). Perubahan dalam perkeretaapian Indonesia tidak cukup hanya ditunjukkan oleh adanya penanggung jawab khusus jalur Jakarta-Bogor dalam struktur organisasi, sudah dibangunnya rel ganda Jakarta-Cirebon, Kutowinangun-Solo, Purwokerto-Paguyangan, dipasangnya toilet yang ramah lingkungan di KA Argo Lawu. Semua itu penting, tetapi tidak akan efektif apabila tidak disertai perubahan pada wilayah ”fisiologi” dan ”psikologi (mentalitas)”.

Perubahan fisiologis menyangkut bagaimana interaksi antarbagian struktur berjalan, bagaimana kesalingtergantungan kinerja disadari dan dijalankan, bagaimana proses manajemen mengalir. Dewasa ini perjalanan dari arah Jawa Tengah ke arah Jakarta boleh dikatakan lancar dan tepat waktu. Namun, perjalanan agak terhambat mulai dari Tambun, apalagi sesudah Jatinegara, dan semakin parah dalam menempuh jarak Manggarai-Gambir. Dilihat dari sudut Kementerian Perhubungan, agaknya kesalingtergantungan antara jadwal Kereta Api Prameks (Yogyakarta-Solo pergi pulang) dan jam-jam padat lapangan terbang Adisucipto sudah disadari benar. Stasiun Maguwo dekat Bandara Adisucipto, yang sebelum gempa Yogyakarta 2006 merupakan stasiun amat kecil, kini telah menjadi stasiun kereta api di Indonesia yang paling dapat mengingatkan kita pada Changi (Singapura) dan lebih-lebih Schiphol (Amsterdam) atau Zaventem (Brussel).

Maka, yang kini mendesak ialah perubahan mentalitas, perubahan budaya organisasi, perubahan pada dataran ”psikologis” organisasi perkeretaapian di Indonesia. Perubahan ini menyangkut nilai-nilai dan norma-norma perilaku pada setiap individu, mulai dari puncak organisasi hingga kondektur, masinis, pramugara dan pramugari, penjual karcis, polisi kereta api, pengatur perjalanan, penjaga lintasan, dan sebagainya.

Namun, perubahan budaya haruslah dimulai dari puncak karena mereka itulah yang perilakunya menjadi anutan dan teladan. Apa yang boleh dan tidak boleh di- lakukan dipelajari para anak buah dari atasan mereka. Atasan harus ”mementaskan” nilai dan budaya organisasi. There’s no business that’s not a show business.


Alois A Nugroho (Guru Besar Filsafat/Etika di Fakultas Ilmu Administrasi Unika Atma Jaya, Jakarta)