ASK
ME

REGISTER
NOW

Romo. Dr. Lili Tjahjadi: Suara Hati Seperti Radar

08/13/2010 00:00:00

Romo Lily

Manusia membutuhkan suara hati, sebab suara hati bisa menjadi pegangan manusia agar bisa survive, membuat keputusan, dan menghadapi tantangan. Selain itu, suara hati seperti yang bisa mengarahkan manusia dalam bertindak setiap hari, demikian kata Pastor Dr. Simon Petrus Lili Tjahjadi, Pr saat pembukaan kuliah umum untuk mahasiswa program studi (prodi) Ilmu Pendidikan Teologi di Gedung Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP), Kamis (12/8).

 

Suara hati merupakan kesadaran akan kewajiban dan tanggung jawab pribadi sebagai manusia dalam situasi konkrit.  Suara hati sebagai suatu kesadaran berarti segala tindakan manusia didasari atas pertimbangan-pertimbangan. Inilah yang membedakan manusia dengan hewan. Hewan tidak memiliki suara hati, tetapi segala tindakannya didorong oleh naluri/insting.

 

Menurut dosen STF Driyarkara ini, suara hati memiliki 3 ciri, mutlak, universal, dan rasional. Suara hati bersifat mutlak karena ia tidak tergantung pada perasaan enak dan tidak enak, untung atau rugi, diterima atau ditolak masyarakat. Sementara universalitas suara hati tampak dari kesadaran bahwa apa yang dalam suara hati, saya sadari sebagai kewajiban saya merupakan kewajiban bagi siapa saja yang berada dalam situasi yang sama dengan saya. Sedangkan ciri rasional dari suara hati muncul karena adanya peluang yang bisa diperdebatkan mengenai suara hati. Persoalan atau penilaian moral merupakan masalah objektif dan memerlukan penalaran akal budi, sehingga bisa dipertanggungjawabkan, didiskusikan, didebat, diberi argumentasi pro atau kontra, dan sebagainya. Sifat debatable suara hati membedakan dirinya dengan perasaan yang sifatnya subyektif dan karena itu tidak bisa diperdebatkan.

 

Pertanyaan yang seringkali muncul, apakah suara hati itu sama dengan suara Tuhan? Menurut Romo Lili, demikian sapaan beliau, di satu sisi suara hati bisa saja bukan suara Tuhan karena suara hati bisa keliru dalam keputusannya (meskipun kekeliruannya dalam hal ini baru diketahui sesudah orang melakukannya alias post factum) sedangkan suara Tuhan tidak pernah keliru. Namun, di sisi lain suara hati juga suara Tuhan karena seperti yang sudah dijelaskan di atas bahwa suara hati itu bersifat mutlak. Dan tidak bisa diasalkan keberlakuannya pada keinginan subjektif melulu (misalnya: keuntungan) atau otoritas pihak luar (seperti: kuasa orang tua). Sifat mutlak inilah yang mengarahkan manusia kepada kehendak Allah. “Kriteria mutu moral kita, juga di hadapan Tuhan, adalah kesetian pada suara hati sendiri, bukan pada asal ikut aturan. Maka setiap orang berkewajiban mengikuti suara hatinya sendiri,” ungkapnya.

 

Di akhir ceramah, dosen yang juga rektor seminari tinggi projo Keuskupan Agung Jakarta (KAJ) berpesan kepada para calon katekis agar bersikap ofensif dan bukan defensif maksudnya seorang katekis harus selalu bersikap positif namun tetap menjaga sikap kritis. Selain itu, seorang katekis harus bersikap respek dengan dirinya sendiri dan orang lain terutama mereka yang miskin (preferential option for the poor), dan yang terakhir menjaga keutuhan ciptaan dan melestarikan lingkungan hidup.

 

 

(Updated by ynr-m&pr/08/10 )